Padahal, seperti yang dijelaskan sebelumnya, Indonesia punya kultur komunal yang melekat kuat.
"Kalau komunal kan jangan sampai kamu membuat malu tetangga dan keluarga. Jadi, konsep malu itu tidak ada di Barat karena individualis, asalkan kamu tidak mengganggu orang lain ya tidak apa-apa," tambahnya.
"Di kita (bangsa Indonesia) moralitas masih tanggung jawab bersama, tanggung jawab orang tua, tanggung jawab lingkungan, tetangga, guru," ujar Habsari.
Dia mencontohkan munculnya frasa membuat malu keluarga, sekolah, lingkungan, atau kantor. Inilah yang menjadi bukti kuat bahwa perkara moralitas di Indonesia masih menjadi urusan komunitas atau masyarakat, dalam hal ini negara.
"Inilah yang membuat tanggung jawab negara seperti semacam di sana salah, di sini salah," ujar Habsari.
Baca juga: Kimi Hime Tak Hadir, Kominfo Bertemu Kuasa Hukum Bahas Konten Vulgar
Perkara kevulgaran dan moralitas sendiri, menurut dosen UNS itu, memang sulit diukur.
"Permasalahannya adalah akan sulit mengubah value suatu negara atau bangsa," kata Habsari.
"Value kita terlanjur komunal. Value kita terlanjur harus diingatkan orang lain baru merasa salah. Kita tidak bisa merasa sendiri," terangnya.
Inilah yang bagi Habsari pentingnya negara mengatur konten media sosial.
"Ini bagaimana kalau konten tidak diatur oleh negara. Kalau tidak semua orang akan bertanggung jawab terhadap konten," ucap Habsari.
"Sementara orang-orang, yang menurut saya tercerabut dari akarnya, yang sangat berkiblat terhadap barat (dengan dalih) kebebasan media. Tapi, siapkah masyarakat kita dengan kebebasan media?" tegasnya.
Habsari juga menuturkan bahwa regulasi yang dilakukan pemerintah lahir dari kesiapan masyarakat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.