Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menyoal Konten Vulgar Kimi Hime dalam Kacamata Budaya Indonesia

Kompas.com - 30/07/2019, 22:06 WIB
Resa Eka Ayu Sartika

Penulis

SURAKARTA, KOMPAS.com - Beberapa waktu yang lalu, nama YouTuber Kimi Hime menjadi perbincangan di masyarakat. Hal ini menyusul tiga video miliknya terkena suspend atau dihapus oleh pihak YouTube atas permintaan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).

Ketiga video milik Kimi Hime itu dianggap terlalu vulgar oleh Kominfo.

Kevulgaran tersebut dinilai bukan dari penampilan Kimi Hime yang memang dujuluki warganet sebagai gamer seksi. Selain sering berpakaian minim dalam video-nya, Kimi juga kerap menggunakan kalimat dengan arti ambigu dalam thumbnail buatannya.

Kalimat-kalimat ambigu inilah yang menjadi salah satu sorotan Kominfo. Pendapat serupa juga diutarakan oleh Sri Kusumo Habsari, pengajar gender dan kajian budaya di Universitas Sebelas Maret (UNS).

Baca juga: 4 Fakta Terbaru Masalah Video Kimi Hime dengan Kominfo

"Kalau saya buka kemarin sekilas untuk baju tidak terlalu dipermasalahkan. Tapi, konotasi seksual yang kuat karena dia menggunakan kalimat, yang notabene, seperti coitus (hubungan intim)," ungkap Habsari saat ditemui Kompas.com, Senin (29/07/2019).

Habsari menilai bahwa kalimat yang digunakan Kimi Hime inilah yang menjadi permasalahan.

"Karena memang ketika saya dengarkan saya terganggu. Saya paham, (kalimat-kalimat Kimi Hime) tidak lepas dari hubungan seksual yang diutarakan secara verbal," kata Habsari.

"Verbalnya terlalu terbuka. Padahal, maksud dia tidak mengarah ke situ tapi kenapa memilih ekspresi-ekspresi bahasa yang notabene akan ditangkap sebagai konotasi seksual," imbuhnya.

Dosen kajian budaya dan gender itu menuturkan bahwa konotasi yang diungkapkan oleh Kimi Hime tersebut terlalu verbal sehingga dianggap mengganggu orang.

"Bahkan dikhawatirkan, seperti yang saya katakan, ini negara piye (bagaimana) tanggung jawabnya untuk generasi muda," kata Habsari.

"Nampak sekali bahwa ada pergeseran masyarakat yang notabene menjadi individualis," tambahnya.

Perempuan yang sempat menempuh pendidikan di Australia itu menyebut, generasi muda Indonesia saat ini mulai beralih menjadi masyarakat yang bersifat individualis.

"Mereka (generasi muda) tidak lagi memikirkan moralitas bangsa, bahwa kita punya tanggung jawab bersama terhadap lingkungan kita. 'Kalau saya menyebarkan konten harusnya konten itu katakanlah bisa diterima semua orang, tidak merusak moralitas'," tutur Habsari.

"Tapi yang mereka cari semacam popularitas. Jadi kan memang ada tips membuat media sosial itu populer, kalau tidak memberikan konten yang menakutkan, itu melanggar sesuatu yang tabu (berbau seks atau pornografi)," tegasnya.

Habsari menjelaskan, semakin kontroversial suatu konten maka akan semakin banyak ditonton masyarakat.

"Semakin konten itu tidak benar (dalam nilai dan norma masyarakat), semakin kita akan tertarik menontonnya," papar Habsari.

Baca juga: Tanpa Diminta Kominfo, Kimi Hime Cabut Konten yang Dinilai Vulgar

"Semakin hari semakin yang dicari adalah kontroversi, karena memang khasnya media sosial di situ," lanjutnya.

Fenomena ini, menurut Habsari, tidak hanya terjadi di Indonesia tapi juga di seluruh dunia. Habsari menganalogikan yang terjadi di media sosial seperti koran kuning.

"Koran kuning itu kan judul dengan isinya kadang-kadang tidak nyambung," kata Habsari.

"Sekarang, sosial media itu kan koran kuning. Saya kadang baca itu judul dan isinya ora nyambung," tambahnya.

Hal ini juga berlaku pada kasus konten Kimi Hime yang dihapus oleh pihak YouTube atas permintaan Kominfo.

Kimi Hime sendiri telah mengakui penggunaan judul pada kontennya memang dimaksudkan agar clickbait. Dia juga menjelaskan bahwa apa yang tertulis di judul tidak sama dengan isi kontennya.

Kultur Indonesia

Apa yang dilakukan oleh Kimi Hime juga mencerminkan sifat generasi muda Indonesia yang telah beralih menjadi individualis.

Pada akhirnya, ini bertentangan dengan kultur Indonesia yang dianut selama ini.

"Karena kultur bangsa Indonesia bukan individualism tapi communal dan collective, maka fungsi ketua adat, tokoh masyarakat, atau pamong praja di masa lalu diambil alih oleh negara," kata Habsari.

"Negara kemudian punya tugas untuk menjaga kelangsungan tata nilai dan moralitas bangsa," imbuhnya.

Baca juga: Segera Bertemu Kimi Hime, Rudiantara akan Bahas Ini...

Namun, setiap kebudayaan pasti akan mengalami perubahan dan pergeseran. Seperti generasi muda Indonesia saat ini yang dinilai oleh Habsari mulai merujuk pada sifat induvidualism.

"Hal itu tentu saja menimbulkan kontroversi dan sering ditentang oleh mereka yang mulai menganut sistem tata nilai individualism yang merupakan tata nilai bangsa-bangsa Barat," kata Habsari.

Perkara Kimi Hime dan Kominfo ini juga tidak lepas dari masalah demokratisasi media. Menurut Habsari, hal inilah akar masalahnya.

"Demokrastisasi media itu kan berasal dari Barat yang menganut nilai individualism. Indivisualis artinya semua orang sudah memiliki kebebasan di dalam menentukan apa yang ingin dilakukan atau tidak," papar Habsari.

Padahal, seperti yang dijelaskan sebelumnya, Indonesia punya kultur komunal yang melekat kuat.

"Kalau komunal kan jangan sampai kamu membuat malu tetangga dan keluarga. Jadi, konsep malu itu tidak ada di Barat karena individualis, asalkan kamu tidak mengganggu orang lain ya tidak apa-apa," tambahnya.

"Di kita (bangsa Indonesia) moralitas masih tanggung jawab bersama, tanggung jawab orang tua, tanggung jawab lingkungan, tetangga, guru," ujar Habsari.

Dia mencontohkan munculnya frasa membuat malu keluarga, sekolah, lingkungan, atau kantor. Inilah yang menjadi bukti kuat bahwa perkara moralitas di Indonesia masih menjadi urusan komunitas atau masyarakat, dalam hal ini negara.

"Inilah yang membuat tanggung jawab negara seperti semacam di sana salah, di sini salah," ujar Habsari.

Baca juga: Kimi Hime Tak Hadir, Kominfo Bertemu Kuasa Hukum Bahas Konten Vulgar

Mengukur Moralitas, Mungkinkah?

Perkara kevulgaran dan moralitas sendiri, menurut dosen UNS itu, memang sulit diukur.

"Permasalahannya adalah akan sulit mengubah value suatu negara atau bangsa," kata Habsari.

"Value kita terlanjur komunal. Value kita terlanjur harus diingatkan orang lain baru merasa salah. Kita tidak bisa merasa sendiri," terangnya.

Inilah yang bagi Habsari pentingnya negara mengatur konten media sosial.

"Ini bagaimana kalau konten tidak diatur oleh negara. Kalau tidak semua orang akan bertanggung jawab terhadap konten," ucap Habsari.

"Sementara orang-orang, yang menurut saya tercerabut dari akarnya, yang sangat berkiblat terhadap barat (dengan dalih) kebebasan media. Tapi, siapkah masyarakat kita dengan kebebasan media?" tegasnya.

Habsari juga menuturkan bahwa regulasi yang dilakukan pemerintah lahir dari kesiapan masyarakat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com