Pada saat mereka akhirnya menetas, ketiga bayi burung dari kelompok eksperimen nampak berperilaku lebih defensif, seperti berkicau lebih sedikit dan tidak selincah burung pada kelompok kontrol. Menurut ahli, perilaku defensif biasanya dilakukan sebagai tanggapan atas suara predator.
Selain itu, burung pada kelompok eksperimen memiliki tingkat hormon stres lebih tinggi, lebih sedikit salinan DNA mitokondria per sel, dan memiliki kaki lebih pendek.
Baca juga: Serba Serbi Hewan: Bisa Bersuara, Paus Beluga Tak Punya Pita Suara
"Burung pada kelompok eksperimen lebih bisa merespons bahaya, tapi kapasitas produksi dan pertumbuhan energi selulernya berkurang," tulis ahli.
Menurut analisis statistik, perbedaan fisiologis ini tidak dapat dikaitkan dengan lama inkubasi saja. Karena satu-satunya perbedaan dalam kedua kelompok adalah pemberian rekaman suara predator.
Kemudian, getaran pada telur dan lama penetasan menunjukkan, sejak belum menetas mereka bisa mengkomunikasikan bahaya melalui getaran.
"Hasil kami dengan jelas menunjukkan, embrio burung bertukar informasi berharga, mungkin mengenai risiko pemangsaan saat sudah menetas," tulis para peneliti dalam makalah mereka.
Studi ini menunjukkan bahwa kemampuan beradaptasi di alam sungguh luar biasa.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.