Atas fakta baru itu, para ilmuwan meyakini bahwa burung sudah mulai belajar beradaptasi dengan lingkungan sebelum menetas.
Secara khusus, tim peneliti mengamati telur burung camar berkaki kuning (Larus michahellis) yang belum menetas.
Hasil pengamatan menunjukkan, bayi-bayi burung camar yang belum menetas dapat memberi isyarat dan menunjukkan perilaku awas, meski masih ada di dalam cangkang.
"Ini menunjukkan, bayi-bayi burung camar dapat menangkap informasi lingkungan yang relevan dari saudara mereka," ungkap para ahli dalam makalah riset mereka seperti dilansir Science Alert, Senin (22/7/2019).
Menurut para ahli, memberikan informasi sosial sebelum menetas merupakan mekanisme non-genetik yang penting untuk kemampuan berkembang di dunia.
Dalam riset ini, ahli mengumpulkan telur camar liar dari koloni pembiakan di Pulau Sálvora di Spanyol yang mengalami tingkat predasi tinggi, terutama dari hewan karnivora seperti musang.
Telur yang sudah dikumpulkan kemudian dibagi menjadi dua kelompok, kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Masing-masing kelompok terdiri dari tiga telur yang dimasukkan ke inkubator berbeda.
Empat kali sehari, para peneliti mengeluarkan dua dari tiga telur yang sama. Kemudian telur itu diletakkan di kotak kedap suara yang memutar rekaman suara predator dewasa.
Sementara untuk dua telur dari kelompok kontrol, tidak ada rekaman suara yang dimainkan di dalam kotak kedap suara.
Kemudian keempat telur itu dikembalikan ke inkubator semula dan diletakkan berdekatan dengan telur ketiga.
Hasilnya, ketiga telur dari kelompok eksperimen, melakukan getaran kuat di dalam inkubator, sementara telur kelompok kontrol diam saja. Uniknya, ketiga telur pada kelompok eksperimen lebih lama menetas dibanding kelompok kontrol.
Pada saat mereka akhirnya menetas, ketiga bayi burung dari kelompok eksperimen nampak berperilaku lebih defensif, seperti berkicau lebih sedikit dan tidak selincah burung pada kelompok kontrol. Menurut ahli, perilaku defensif biasanya dilakukan sebagai tanggapan atas suara predator.
Selain itu, burung pada kelompok eksperimen memiliki tingkat hormon stres lebih tinggi, lebih sedikit salinan DNA mitokondria per sel, dan memiliki kaki lebih pendek.
"Burung pada kelompok eksperimen lebih bisa merespons bahaya, tapi kapasitas produksi dan pertumbuhan energi selulernya berkurang," tulis ahli.
Menurut analisis statistik, perbedaan fisiologis ini tidak dapat dikaitkan dengan lama inkubasi saja. Karena satu-satunya perbedaan dalam kedua kelompok adalah pemberian rekaman suara predator.
Kemudian, getaran pada telur dan lama penetasan menunjukkan, sejak belum menetas mereka bisa mengkomunikasikan bahaya melalui getaran.
"Hasil kami dengan jelas menunjukkan, embrio burung bertukar informasi berharga, mungkin mengenai risiko pemangsaan saat sudah menetas," tulis para peneliti dalam makalah mereka.
Studi ini menunjukkan bahwa kemampuan beradaptasi di alam sungguh luar biasa.
https://sains.kompas.com/read/2019/07/25/200200823/serba-serbi-hewan--burung-sudah-bicara-bahkan-sebelum-lahir-ke-dunia