Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Darurat Polusi Udara Jakarta, Kementerian Lingkungan Hidup Gagal Komunikasikan

Kompas.com - 22/07/2019, 11:37 WIB
The Conversation,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

Standar US AQI menentukan bahwa manusia hanya boleh terpapar kurang dari 12 mikrogram per meter kubik polutan dalam setahun. Sementara itu, WHO menetapkan maksimum hingga kurang dari sepuluh mikrogram per meter kubik per tahun.

Untuk paparan harian, WHO menyatakan 25 mikrogram per meter kubik sebagai ambang batas aman. Namun, Greenpeace Indonesia mengklaim ambang batas Indonesia hampir tiga kali lebih tinggi, yaitu 65 mikrogram per meter kubik.

Jika kita mengikuti standar US AQI, Jakarta dan Banten, dengan skor 151-200, masuk dalam kategori “tidak sehat”.

Terlepas dari data kualitas udara real-time, aplikasi ini juga menyediakan informasi risiko kesehatan untuk setiap skor. Misalnya, ketika udara dianggap “tidak sehat” maka aplikasi ini memberikan informasi bahwa kondisi tersebut akan mengakibatkan masalah jantung dan paru-paru bagi bayi dan manula. Pada level ini, akan direkomendasikan untuk membatasi aktivitas di luar ruangan dan memakai masker anti-polusi.

Udara bersih sebagai hak lingkungan setiap warga

Setiap orang memiliki hak lingkungan untuk tinggal di lingkungan yang aman, bersih, sehat dan berkelanjutan, bersamaan dengan hak untuk mencari, menerima dan menyebarkan informasi lingkungan.

Negara harus melindungi hak-hak lingkungan warganya dan Indonesia adalah salah satu negara yang secara formal telah menerima semua norma-norma hak lingkungan ini.

Keyakinan pemerintah bahwa polusi udara terkendali telah menciptakan informasi yang membingungkan. Beberapa media massa telah melaporkan masalah polusi udara yang disebabkan oleh transportasi pribadi (seperti mobil dan motor) dan kegiatan industri.

Baca juga: Meski Sekarang Suhu Dingin, Bulan Lalu Terpanas dalam 140 Tahun

Studi sebelumnya telah menemukan polusi udara memiliki efek kesehatan paru seperti asma, penyakit paru obstruktif kronik (COPD), kanker paru-paru, dan infeksi pernapasan. Para peneliti juga menemukan korelasi antara polusi udara dan penyakit kardiovaskular.

Memahami dan mengomunikasikan risiko pencemaran udara sangat penting untuk memperingatkan masyarakat tentang dampaknya terhadap mereka. Masyarakat memiliki hak untuk mengetahui situasi lingkungan mereka saat ini dan menerima informasi yang jelas, tidak membingungkan atau informasi yang menyesatkan.

Dalam situasi saat ini, pemerintah telah gagal untuk mengkomunikasikan risiko dan mengabaikan untuk menginformasikan dan memberikan penilaian data lingkungan yang komprehensif kepada publik.

Mengapa mengkomunikasikan risiko?

Publik perlu tahu risiko kesehatan apa yang mereka hadapi dari polusi udara. Mereka juga perlu tahu apa yang bisa mereka lakukan untuk melindungi hidup, kesehatan mereka, keluarga dan komunitas mereka.

Para ahli dapat melakukan komunikasi risiko dengan menggunakan media sosial, media massa dan forum ajakan yang melibatkan masyarakat.

Mereka dapat berkomunikasi dan berbagi informasi kepada publik tentang ancaman kesehatan, ekonomi atau kesejahteraan sosial mereka. Ini dapat meningkatkan kesadaran publik dan membantu masyarakat merespon secara tepat untuk melindungi diri mereka sendiri.

Menurut WHO, komunikasi risiko bisa menjadi platform untuk membangun kepercayaan antara pemerintah dan masyarakat. Dengan menggunakan komunikasi risiko, pemerintah dapat menyatakan perang terhadap polusi udara, seperti yang Cina telah lakukan.

Baca juga: Viral Potensi Tsunami Selatan Jawa, Jangan Cuma Cemas, Lakukan Ini...

* Pengajar di Universitas Multimedia Nusantara

Artikel ini pertama kali diterbitkan di The Conversation Indonesia

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com