Oleh Juhri Selamet*
KOMPAS.com - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Indonesia gagal dalam mengkomunikasikan risiko polusi udara di ibukota, Jakarta, dan daerah sekitarnya.
Data yang disajikan di situs kementerian menunjukkan Jakarta memiliki kualitas udara yang baik, sehingga tidak perlu untuk memperingatkan masyarakat tentang risiko kesehatan dari polusi udara kotor. Namun, data dari aplikasi dari negara Swiss, AQ AirVisual menginformasikan sebaliknya.
Menurut data AirVisual, yang bersumber dari monitor kualitas udara kedutaan Amerika Serikat, Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Indonesia dan Greenpeace Indonesia, Jakarta dan provinsi tetangganya, Banten, merupakan wilayah dengan udara paling kotor di dunia. Kondisi udara kotor akan berdampak kepada kesehatan masyarakat.
Kementerian LHK menanggapi informasi ini dengan menyatakan bahwa data AQ AirVisual tidak akurat.
Informasi yang saling bertentangan ini menciptakan ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah dan mendorong sekelompok warga yang menuntut pemerintah atas meningkatnya polusi udara.
Perbedaan data
Selama ini, Kementerian LHK secara teratur memantau kualitas udara di Indonesia melalui perangkat yang dipasang di beberapa tempat strategis, seperti jalan atau daerah padat lainnya.
Baca juga: 50 Tahun Pendaratan Bulan: Ada 5 Hal Unik di Perjalanan Neil Armstrong
Perangkat ini mengumpulkan data kualitas udara yang digunakan kementerian dalam menghitung perhitungan Indeks Pencemaran Udara (API).
Indeks Polusi Udara ini menggunakan skala 0 hingga 3000. Dengan angka 0 sampai 51, berarti udara bersih. Skala angka 51 sampai 100, polusi sedang. Angka antara 101 dan 199 berarti udara dapat menyebabkan penyakit dan kisaran angka 200 sampai 299 udara sangat tidak sehat. Jika tingkat kualitas udara mencapai angka melebihi 300, berarti bahaya.
Indeks Standard Pencemaran Udara (ISPU) pada 16 Juli 2019 pukul 9 pagi menunjukkan Jakarta dan Banten berada pada kisaran 58 hingga 78. Level ini termasuk dalam kategori sedang.
Menurut kementerian, kualitas udara yang turun di tingkat skala sedang “tidak akan berpengaruh pada kesehatan manusia dan hewan, tetapi akan mempengaruhi tanaman sensitif dan nilai estetika”.
Sementara itu, AQ AirVisual menggunakan Indeks Kualitas Udara Amerika Serikat (US AQI), salah satu standar kualitas udara yang paling dikenal di dunia. US AQI mengubah konsentrasi polutan di udara menjadi skala kode warna 0-500, agar mudah mewakili tingkat risiko kesehatan.
Monitor ini memberikan penilaian udara real-time dengan skor 0-50 menjadi kualitas udara “baik” yang tidak menimbulkan ancaman, 51-100 “sedang”, 101-150 “tidak sehat untuk kelompok sensitif”, 151–200 “tidak sehat”, 201– 300 “sangat tidak sehat” dan 301-500 berbahaya.
Baca juga: Viral Bahaya #AgeChallenge FaceApp, Bagaimana dengan Aplikasi Lokal?
Standar US AQI untuk Particulate Matter 2.5 (PM2.5), satu dari empat polutan udara umum dengan diameter kurang dari 2,5 mikrometer, atau lebih kecil dari rambut manusia, sedikit lebih tinggi dari standar yang diterapkan oleh WHO.
Standar US AQI menentukan bahwa manusia hanya boleh terpapar kurang dari 12 mikrogram per meter kubik polutan dalam setahun. Sementara itu, WHO menetapkan maksimum hingga kurang dari sepuluh mikrogram per meter kubik per tahun.
Untuk paparan harian, WHO menyatakan 25 mikrogram per meter kubik sebagai ambang batas aman. Namun, Greenpeace Indonesia mengklaim ambang batas Indonesia hampir tiga kali lebih tinggi, yaitu 65 mikrogram per meter kubik.
Jika kita mengikuti standar US AQI, Jakarta dan Banten, dengan skor 151-200, masuk dalam kategori “tidak sehat”.
Terlepas dari data kualitas udara real-time, aplikasi ini juga menyediakan informasi risiko kesehatan untuk setiap skor. Misalnya, ketika udara dianggap “tidak sehat” maka aplikasi ini memberikan informasi bahwa kondisi tersebut akan mengakibatkan masalah jantung dan paru-paru bagi bayi dan manula. Pada level ini, akan direkomendasikan untuk membatasi aktivitas di luar ruangan dan memakai masker anti-polusi.
Udara bersih sebagai hak lingkungan setiap warga
Setiap orang memiliki hak lingkungan untuk tinggal di lingkungan yang aman, bersih, sehat dan berkelanjutan, bersamaan dengan hak untuk mencari, menerima dan menyebarkan informasi lingkungan.
Negara harus melindungi hak-hak lingkungan warganya dan Indonesia adalah salah satu negara yang secara formal telah menerima semua norma-norma hak lingkungan ini.
Keyakinan pemerintah bahwa polusi udara terkendali telah menciptakan informasi yang membingungkan. Beberapa media massa telah melaporkan masalah polusi udara yang disebabkan oleh transportasi pribadi (seperti mobil dan motor) dan kegiatan industri.
Baca juga: Meski Sekarang Suhu Dingin, Bulan Lalu Terpanas dalam 140 Tahun
Studi sebelumnya telah menemukan polusi udara memiliki efek kesehatan paru seperti asma, penyakit paru obstruktif kronik (COPD), kanker paru-paru, dan infeksi pernapasan. Para peneliti juga menemukan korelasi antara polusi udara dan penyakit kardiovaskular.
Memahami dan mengomunikasikan risiko pencemaran udara sangat penting untuk memperingatkan masyarakat tentang dampaknya terhadap mereka. Masyarakat memiliki hak untuk mengetahui situasi lingkungan mereka saat ini dan menerima informasi yang jelas, tidak membingungkan atau informasi yang menyesatkan.
Dalam situasi saat ini, pemerintah telah gagal untuk mengkomunikasikan risiko dan mengabaikan untuk menginformasikan dan memberikan penilaian data lingkungan yang komprehensif kepada publik.
Mengapa mengkomunikasikan risiko?
Publik perlu tahu risiko kesehatan apa yang mereka hadapi dari polusi udara. Mereka juga perlu tahu apa yang bisa mereka lakukan untuk melindungi hidup, kesehatan mereka, keluarga dan komunitas mereka.
Para ahli dapat melakukan komunikasi risiko dengan menggunakan media sosial, media massa dan forum ajakan yang melibatkan masyarakat.
Mereka dapat berkomunikasi dan berbagi informasi kepada publik tentang ancaman kesehatan, ekonomi atau kesejahteraan sosial mereka. Ini dapat meningkatkan kesadaran publik dan membantu masyarakat merespon secara tepat untuk melindungi diri mereka sendiri.
Menurut WHO, komunikasi risiko bisa menjadi platform untuk membangun kepercayaan antara pemerintah dan masyarakat. Dengan menggunakan komunikasi risiko, pemerintah dapat menyatakan perang terhadap polusi udara, seperti yang Cina telah lakukan.
Baca juga: Viral Potensi Tsunami Selatan Jawa, Jangan Cuma Cemas, Lakukan Ini...
* Pengajar di Universitas Multimedia Nusantara
Artikel ini pertama kali diterbitkan di The Conversation Indonesia
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.