Dalam pengujian kami, masker wajah yang sering dipakai di negara berkembang memiliki kinerja yang paling buruk. Tipe ini hanya sanggup menghentikan 15 persen hingga 57 persen partikulat dari udara sebelum akhirnya menembus masker.
Artinya, saat hari yang padat polusi di New Delhi, sebanyak 85 persen PM dapat melewati masker dan mencapai paru-paru pemakai, atau sekitar 300 mikrogram per meter kubik PM. Angka ini sepuluh kali lebih tinggi dari standar yang ditetapkan oleh WHO untuk PM.
Sebagai perbandingan, kami menguji juga masker wajah bersertifikat N95 yang terbuat dari polipropilena, kain sintetis bukan tenunan.
Masker jenis ini berhasil menghilangkan 95% partikulat. Standar untuk masker bersertifikat N95 memang dirancang untuk memberikan perlindungan yang memadai bagi pekerja yang beriisko terkena paparan PM, seperti pertambangan, permesinan, dan pekerjaan berbahaya lainnya.
Masker lain, termasuk kain dan versi selulosa dengan lipatan, menunjukkan hasil hampir sama seperti masker N95.
Namun, dari semua masker yang kami uji–termasuk masker N95–tidak ada yang terbukti efektif menyaring campuran udara dan gas buang kendaraan yang biasa dihadapi oleh masyarakat perkotaan.
Meskipun penelitian kami berfokus pada PM, penting untuk dicatat bahwa polusi udara melibatkan campuran bahan kimia dan sumber yang berbeda, serta partikel mikroskopis dari berbagai ukuran yang dapat berubah seiring waktu.
Baca juga: WHO: Perangi Polusi Udara Bisa Perpanjang Umur Manusia
Secara umum, semua masker yang kami uji cukup baik untuk perlindungan dari partikel berukuran besar. Namun, masker yang paling murah memberikan perlindungan terbatas bagi ancaman debu sangat halus. Tidak ada masker yang bisa memberikan perlindungan 100 persen.
Peraturan yang ada mungkin bisa memastikan masker digunakan dengan benar, namun karakter penduduk perkotaan yang selalu sibuk tidak akan memperhatikan detail, seperti menyesuaikan ukuran masker dengan wajah mereka.
Butuh opsi yang lebih baik
Pada kota-kota yang sangat tercemar, partikulat seringkali jauh lebih kecil daripada partikel 300-nanometer yang digunakan di laboratorium kami, terutama di dekat sumber pembakaran seperti mobil dan truk atau api terbuka.
Semakin kecil partikel, semakin sulit untuk disaring. Bahkan, masker N95 tidak dirancang untuk sumber polusi udara perkotaan yang tradisional. Ini berarti jika pengguna di negara berkembang menggunakan masker N95 yang cukup mahal, sebagian kecil dari partikulat berbahaya tetap masih akan mencapai paru-paru mereka.
Beberapa inovator telah merancang masker kain yang lebih baik dan mirip dengan masker bersertifikat N95. Desain baru ini memenuhi standar N95, namun masih belum jelas seberapa efektif bagi pengemudi taksi di Karachi, India atau penjaga toko di Ho Chi Minh, Vietnam.
Bagi sebagian besar negara berkembang, produk-produk ini tidak terjangkau. Sehingga sebagian besar masyarakat cenderung menggunakan masker kain murah.
Apakah mungkin merancang masker murah yang dapat memberikan perlindungan lebih baik? Mungkin.
Namun, sebelum hal itu terjadi, kita tidak bisa membiarkan para pengguna masker murah berasumsi bahwa mereka akan sepenuhnya terlindungi dari polusi udara. Meski demikian, sejumlah masker ini dapat memberikan sedikit perlindungan. Ini lebih baik daripada tidak sama sekali.
Lebih lanjut, masyarakat juga perlu membuat pilihan tentang lingkungan mereka, misalnya perlukah merokok, keputusan untuk tinggal di mana, hingga apakah perlu terjebak dalam kemacetan. Sementara, untuk jangka panjang, kita juga tetap mencari solusi mengurangi polusi udara dari sumbernya.
Baca juga: Hari Lingkungan Sedunia, Berikut 10 Fakta Polusi Udara yang Wajib Tahu
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.