KOMPAS.com - Istilah micin saat ini kerap dipakai sebagai pengganti penyebutan penyedap rasa pada makanan.
Pro dan kontra tentang penggunaan micin juga sudah berlangsung lama. Salah satunya, perdebatan mengenai pengaruhnya pada kinerja otak atau tidak.
Apa saja yang perlu diketahui soal micin? Simak rangkuman berikut, dari sejarah, efek, hingga batas aman penggunaannya.
1. Penemuan micin
Micin atau MSG ditemukan oleh Kikunae Ikeda, profesor kimia Universitas Tokyo pada tahun 1908.
Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) mengategorikan MSG sebagai makanan aman. Meski demikian, mengonsumsi micin dalam jumlah berlebih juga tak disarankan.
Baca juga: Masak Lezat Tanpa Micin? Begini Caranya Menurut Sains
2. Kandungan
Micin mengandung monosodium glutamat yang terdiri dari air, natrium, dan glutamat. Glutamat merupakan zat penting yang dapat mengubah rasa makanan menjadi lebih nikmat.
Zat tersebut juga terkandung dalam susu, keju, daging, ikan, dan beberapa sayuran.
3. Efek
Efek penggunaan micin masih menjadi perdebatan di kalangan ilmuwan. Ada yang beranggapan, monosodium glutamat (MSG) berdampak buruk pada kemampuan kognitif seseorang. Benarkah?
Ahli gizi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Profesor Hardinsyah mengatakan, lembaga-lembaga kesehatan dunia--The Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives (JECFA), hingga Kementerian Kesehatan RI menyatakan MSG aman dikonsumsi.
Menurut dia, anggapan bahwa penyedap rasa bisa berpengaruh pada kerja otak kemungkinan karena kesalahan persepsi atas penelitian yang dilakukan oleh peneliti Washington University, Dr John W. Olney.
Baca juga: Penemuan yang Mengubah Dunia: Micin, Serbuk Penuh Kontroversi
Olney menguji MSG terhadap tikus putih dengan cara menyuntikkannya ke bawah kulit.
Cara ini dikritik dan dianggap tak lazim karena MSG umumnya diasup lewat makanan.