KOMPAS.com - Selama puluhan tahun, serangan jantung berarti hukuman mati. Serangan jantung disebabkan oleh penyumbatan pembuluh darah koroner secara tiba-tiba oleh gumpalan darah. Penderita biasanya hanya menerima obat pengencer darah untuk mencegah penyumbatan serta beristirahat di rumah sakit selama dua minggu. Dengan terapi itu, 20 persen pasien keluar kamar rumah sakit tanpa nyawa.
Hingga pada tahun 1993, sebuah publikasi di The New England Journal of Medicine berjudul "A Comparison of Immediate Coronary Angioplasty with Intravenous Streptokinase in Acute Mycardial Infraction" mengubah dan menumbuhkan harapan hidup bagi pasien serangan jantung.
Adalah Harry Suryapranata, profesor dan doktor ahli intervensi jantung yang kini bekerja di Rumah Sakit Jantung Diagram - Siloam Hospitals Group, yang menjadi salah satu peneliti dalam publikasi itu. Berkat riset dan dampaknya, Harry mendapatkan gelar Knight in the Order of the Netherlands Lion dari Kerajaan Belanda tahun ini.
Ditemui Kompas.com pada Kamis (20/6/2019) lalu, Harry menuturkan bahwa gagasan penelitiannya bermula dari keprihatinan saat melihat pasien serangan jantung. Mereka kadang disebut "gravely ill patients", berpeluang besar meninggal akibat penyumbatan oleh gumpalan darah saat serangan jantung.
Baca juga: Dokter Bongkar Mitos Obat Diabetes Berbahaya bagi Ginjal
Akhir tahun 80-an, dalam proyek disertasi doktoralnya, Harry mengujicoba pemberian pengencer darah lewat pembuluh darah jantung secara langsung. Dosisnya 10 persen dari prosedur biasanya, infus lewat pembuluh darah vena. "Ternyata dampaknya luar biasa," katanya.
Dia lantas menindaklanjuti dengan eksperimen baru, melakukan tindakan ballon dan stent jantung segera setelah serangan jantung. Menurutnya, stent - atau yang kini dikenal dengan pemasangan ring jantung - segera setelah serangan jantung berpotensi melancarkan kembali saluran pembuluh darah jantung yang tadinya tersumbat dan yang berpotensi memicu kematian.
Hasil eksperimen yang diterbitkan di The New England Journal of Medicine pada 1993 menuai kontroversi. "Dunia gempar saat itu. Saya dan rekan-rekan saya dituduh sebagai koboi-koboi yang melakukan tindakan tidak etis," ungkap Harry.
Meski demikian, dampak eksperimen itu sangat baik. "Jumlah orang yang meninggal akibat serangan jantung turun dari 20 persen menjadi hanya 2 persen. Ini menunjukkan bahwa kita harus punya keberanian melakukan eksperimen," terangnya.
Mengubah Guidelines Dunia
Menyusul eksperimen pertama, Harry dan rekannya melakukan riset lanjutan guna menjawab keraguan dunia kedokteran saat itu. Ulasan dari serangkaian eksperimen dipadu dengan "propaganda" lewat kuliah umum yang menjelaskan hasil studi akhirnya meredakan kontroversi.
"Suatu saat, menteri kesehatan Belanda datang ke rumah sakit kami di Zwolle. Dia bertanya mengapa langkah kami tidak ditiru oleh rumah sakit lain," katanya. Dia lantas mendorong rumah sakit di Belanda menerapkan eksperimen Harry.
Baca juga: Viral Tes Kesehatan Mata Online, Dokter Sebut Tak Ada Dasar Ilmiahnya
Tahun 2006, Harry mendapatkan penghargaan Andreas Grunzing dari European Society of Cardiology dan World Congress of Cardiology di Barcelona. Sejak saat itu juga, tata laksana penanganan serangan jantung di Eropa dan Amerika diubah.
"Tim saya berhasil menunjukkan bahwa waktu jendela sangat penting," katanya. Tidak perlu menunggu berhari hari, apalagi menunggu hingga jantung sangat lemah, untuk melakukan pemasangan ring. Tindakan stent segera bukan hanya mencegah kematian tetapi juga menjaga agar kemampuan jantung memompa darah tetap baik.
Ada kisah lucu di balik adopsi hasil eksperimen Harry oleh Amerika Serikat. Awalnya, asosiasi dokter jantung di Amerika Serikat telah menentukan bahwa waktu untuk tindakan stent adalah 120 menit usai serangan jantung, tetapi karena public lecture Harry di Barcelona pada 2006, dokter di sana kembali berpikir.
"Ada rekan saya di Amerika bilang,'you make headache.' Saya bilang ke dia, 120 menit itu terlalu lama. Darah sudah akan menggumpal. Dia lalu meminta saya meneliti untuk melihat potensi kegagalan tindakan per menit dan saya lakukan," urainya.
Membawa ke Indonesia
Tahun 2006 juga, Harry kembai ke Indonesia. Dia mendirikan rumah sakit di Cinere, Jakarta Selatan. Dan dia melihat kenyataan bahwa kendala pengobatan di Indonesia tidak cuma soal teknologi, tetapi juga administrasi. "Suatu kali saya tidak bisa operasi karena pasien tidak bisa bayar DP rumah sakit," katanya.
Baca juga: Selain Semut Charlie Alias Tomcat, Inilah 7 Serangga Paling Berbahaya
Kejadian itu memotivasinya mendirikan Yayasan Kardiovaskuler. Yayasannya menampung sumbangan dari dokter, lembaga riset, dan publik di Belanda sekaligus uang upah yang diterimanya lewat sejumlah kuliah umum ataupun proyek riset.
"Yayasan itu khusus saya dirikan agar penderita serangan jantung akut yang tidak mampu membayar untuk pemasangan ring tetap bisa mendapatkan tindakan segera," ujar dokter yang meraih gelar doktor di Erasmus Universiteit Rotterdam pada 1988 ini.
Dengan adanya funding itu pun, Harry masih harus bekerja keras. Pasalnya, rumah sakit jantung saat itu tidak beroperasi 24 jam. Ini menyulitkan langkahnya menyelamatkan pasien. Akhirnya, dia dan sejumlah dokter rela lembur kala ada pasien yang segera perlu ditandangi.
Harry mengaku, adanya BPJS sangat membantu pelayanan serangan jantung. Di rumah sakitnya yang kini melakukan lebih dari 100 tindakan pemasangan stent dan kateterisasi dalam sebulan, pasien mendapat kemudahan perawatan jika memiliki BPJS.
Tantangan penanganan serangan jantung saat ini justru datang dari pasien. "Banyak yang datang berhari-hari setelah serangan. Mereka tidak sadar telah mengalaminya. Merasa hanya masuk angin. Oleh karena itu sekarang yang perlu dilakukan adalah edukasi publik," katanya.
Baca juga: Katak Raksasa sampai Orangutan Tapanuli, 5 Bukti Kekayaan Indonesia
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.