Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Petani Sawit Persoalkan Alokasi Dana BPDP Yang Tidak Adil

Kompas.com - 28/06/2019, 18:36 WIB
Julio Subagio,
Shierine Wangsa Wibawa

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Pada tahun 2015 silam, Presiden Joko Widodo menandatangani peraturan pembentukan Bandan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDP-Sawit), demi menggenjot produktivitas sawit selaku salah satu komoditas ekspor andalan Indonesia.

Hingga tahun 2018, dana BPDP ini telah terhimpun sekitar Rp 43 triliun dari potongan penjualan ekspor CPO (Crude Palm Oil). Meski dana yang terkumpul bernilai sangat besar, namun alokasi dana ini dinilai tidak berpihak pada petani sawit.

Hal ini karena sebagian besar dana BPDP digunakan untuk memenuhi insentif biodiesel B20, yaitu program pengembangan biodiesel yang mewajibkan setiap liter solar yang digunakan di dalam negeri memiliki 20 persen kandungan minyak sawit.

Semula, program biodiesel B20 diharapkan dapat menciptakan pasar dalam negeri demi menghadapi pemberlakuan pembatasan ekspor CPO asal Indonesia oleh Uni Eropa. Namun menurut petani, program ini dipegang oleh industri dan korporasi besar dan tidak melibatkan petani sawit secara langsung.

Baca juga: Dua Capres Ingin Kembangkan Biodiesel Sawit, Bagaimana Nasib Hutan Indonesia?

Insentif total untuk biodiesel ini menggunakan sekitar 90 persen total dana BPDP, atau tepatnya Rp 38,7 triliun, sementara dana yang disalurkan ke petani melalui dana replanting hanya sekitar Rp 702 miliar saja, atau setara dengan 1,6 persen.

Terhitung sejak Desember 2018, pungutan ekspor sawit dihentikan kerena harga CPO internasional mengalami penurunan mencapai 570 dolar AS per ton. Menurut petani sawit, saat ini pihak produsen biodiesel tengah mengupayakan agar pungutan tersebut diadakan kembali.

Hal ini tentunya memancing respons dari para petani sawit.

“Hingga saat ini, belum ada kejelasan bagi para petani mengenai pembagian dana BPDP. Jika pembagiannya tidak diubah, lebih baik tidak ada saja, karena petani tidak menerima hasilnya,” ujar Mansuetus Darto, Sekjen Serikat Petani Kelapa Sawit, saat jumpa media di Jakarta, Jumat (28/6/2019).

Baca juga: Solusi Meningkatkan Minyak Sawit tanpa Perluasan Lahan

Mansuetus menjelaskan bahwa dahulu para petani dijanjikan bahwa harga Tandan Buah Segar (TBS) akan stabil pasca adanya pungutan ekspor sawit untuk dana BPDP. Namun, nyatanya harga TBS justru mengalami penurunan. Setelah pungutan ditiadakan, harga kembali mengalami kenaikan perlahan.

Pungutan ekspor sawit ini diberlakukan sebesar 50 dolar AS per ton CPO, dan dibebankan pada seluruh petani sawit, baik petani plasma maupun petani swadaya.

“Jika benar-benar bicara soal kedaulatan energi, mestinya bahan baku biodiesel berasal dari rakyat, bukan dari industri,” papar Mansuetus.

Hal senada juga diungkapkan oleh Pahala Sibuea, Wakil Ketua Umum Asosiasi Samade.

Pahala mendorong agar jika pungutan akan diadakan kembali, maka perlu dilakukan peninjauan ulang mengenai alokasi dana agar dapat memihak pada petani.

Baca juga: Sawit Berkelanjutan, Kuncinya Sains dan Teknologi

Biodiesel memang secara devisa meningkatkan pendapatan negara, namun jika bicara soal kesejahteraan petani, efeknya belum terasa,” ujar Pahala.

Menurut dia, insentif besar bagi produsen biodiesel sangat merugikan petani karena produsen biodiesel dipegang oleh korporasi besar dan pabrik sawit saja. Petani tidak dapat memasok kebutuhan CPO untuk biodiesel, sehingga terpaksa menjual ke tengkulak yang menerapkan harga tidak sesuai aturan.

“Selama ini, petani hanya bermain di hulu dengan menjual TBS. Harusnya dengan adanya keterlibatan pemerintah dapat mendorong petani bermain di hilir agar dapat men-support CPO untuk kebutuhan biodiesel dan pangan,” lanjutnya.

Saat ini, sebesar 43 persen dari total lahan sawit nasional merupakan milik petani, dan menghasilkan sebesar 36 persen dari kebutuhan nasional baik untuk bidang pangan, minyak nabati, maupun biodiesel.

Hal ini merupakan potensi besar yang menunggu untuk dikelola dengan efektif dan efisien.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com