Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Studi: Indonesia Nomor 33 dalam Kejujuran Mengembalikan Dompet

Kompas.com - 22/06/2019, 17:33 WIB
Gloria Setyvani Putri

Penulis

KOMPAS.com - Kejujuran merupakan akar kehidupan sosial dan pembangunan ekonomi suatu bangsa. Namun berdasar studi perilaku jujur yang terbit di Science Magazine, Kamis  (20/6/2019), ahli menemukan posisi Indonesia berada di urutan 33 dari 40 negara.

Studi berjudul Kejujuran Masyarakat di Seluruh Dunia ini dilakukan di 355 kota yang mencakup 40 negara di seluruh dunia.

Dalam kebiasaan berperilaku jujur, Indonesia jauh ketinggalan dibanding Thailand yang menempati urutan 28 dan India di posisi 30. Sementara itu, negara paling jujur adalah Switzerland dan yang berada di urutan paling akhir adalah China.

Baca juga: Jujur pada Diri, Apakah Anda Sudah Dikendalikan oleh Smartphone?

Para ahli dari Universitas Michigan bekerja sama dengan Universitas Zurich dan Universitas Utah melakukan studi ini karena mereka menganggap kejujuran merupakan mata tombak dalam kehidupan ekonomi dan sosial.

"Tanpa kejujuran, akan banyak janji dilanggar, kontrak tidak dijalankan, pajak tidak dibayar, dan pemerintah menjadi korup," tulis ahli dalam laporan mereka.

Dampak dari semua hal itu adalah kerugian pada perekonomian negara, termasuk dari pajak ataupun korupsi pemerintah.

Hal ini tak hanya terjadi di Indonesia. Sebagai contoh, kerugian akibat penggelapan pajak di AS diperkirakan mencapai ratusan miliar dollar setiap tahun. Kemudian korupsi dan aliran finansial ilegal di negara adikuasa itu diperkirakan mencapai 1,3 triliun dollar per tahun.

"Dalam makalah ini kami menguji bagaimana masyarakat berperilaku jujur. Kami ingin melihat bagaimana warga secara sadar dan tanpa paksaan menahan diri dari perilaku oportunistik dan bertindak sebaliknya," ujar penulis dalam laporannya.

Sebelumnya, literatur eksperimental tentang perilaku jujur diamati di lingkungan laboratorium, di mana responden paham bahwa perilaku mereka sedang diamati. Selain itu penelitian juga hanya melibatkan orang Barat, berpendidikan, orang kaya, dan masyarakat demokratis.

Untuk menguji perilaku jujur dalam skala lebih besar, Alain Cohn dan koleganya pergi ke 355 kota di 40 negara. Mereka ingin mengamati bagaimana uang dapat memengaruhi tingkat kejujuran manusia di seluruh dunia.

Ahli melakukan eksperimen di lima sampai delapan kota besar suatu negara, dengan sekitar 400 pengamatan di setiap negara.

Para ahli dengan sengaja menyerahkan 17.303 dompet ke warga lokal, mengaku bahwa mereka menemukan dompet itu, dan meminta orang tersebut untuk menjaganya dengan alasan ada keperluan.

Masing-masing dompet berisi uang tunai yang jumlahnya beragam, kartu identitas, kartu nama beserta alamat email, dan nota belanjaan dengan bahasa lokal agar warga percaya dompet itu milik orang lokal.

Tabel kejujuran di 40 negara, Indonesia nomor 33. Tabel kejujuran di 40 negara, Indonesia nomor 33.

Seperti ditunjukkan dalam tabel, percobaan lintas negara ini menunjukkan hasil konsisten. Di mana warga lebih mungkin melaporkan dompet hilang yang berisi uang dibanding tidak.

"Kami mengamati pola ini untuk 38 dari 40 negara," tulis penulis

Ahli mengatakan, lebih banyak uang dalam suatu dompet kemungkinan dikembalikan justru meningkat.

Bila dompet tanpa uang kemungkinan dikembalikan sekitar 40 persen, tapi kalau dompet berisi uang kemungkinan dikembalikan meningkat jadi 51 persen.

Menariknya, saat ahli menguji negara AS, Inggris, dan Polandia dengan memasukkan uang tujuh kali lipat lebih banyak dari sebelumnya, kemungkinan mengembalikan dompet meningkat menjadi 72 persen.

Ahli menduga, hal ini berkaitan dengan kekhawatiran warga terhadap hukum yang berlaku di negaranya bila dompet tidak kembali ke pemiliknya dan dia dituduh sebagai pencuri.

Berkaitan dengan anggapan ini, ahli kemudian memeriksa apakah hal itu dipengaruhi oleh kehadiran orang lain saat menerima dompet, keberadaan kamera keamanan, dan hukum suatu negara.

Jika kejujuran warga ada hubungannya dengan ketiga hal itu, itu artinya mereka jujur karena taat hukum. Namun hal ini juga tidak terbukti.

Ahli juga gagal menemukan bukti bahwa mereka berharap mendapat imbalan ketika mengembalikan dompet.

Baca juga: Profesor Harvard Buktikan Kebahagiaan Bisa Dibeli dengan Uang

Setelah mengesampingkan semua asumsi yang tidak terbukti, ahli meyakini kejujuran mengembalikan dompet dipengaruhi oleh kekhawatiran isi dompet yang dianggap bernilai bagi pemiliknya, dan sadar diri untuk tidak mencuri.

"Kami menemukan variasi tingkat kejujuran mulai dari 14 persen sampai 76 persen. Perbedaan ini muncul karena berbagai faktor," ujar penulis.

Mereka menemukan, kondisi geografis yang menguntungkan secara ekonomi, lembaga politik inklusif, pendidikan, nilai budaya, dan nilai moral yang diterapkan secara positif terkait dengan tingkat kejujuran seorang warga negara.

Cohn menyebut, penelitian di masa depan masih diperlukan untuk mengidentifikasi bagaimana faktor tersebut berkontribusi dalam perilaku jujur suatu masyarakat di suatu negara.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau