KOMPAS.com — Beberapa bulan belakangan, nampaknya kehidupan sosial kita diwarnai berbagai kabar sekitar isu politik, entah itu di media sosial maupun dalam interaksi sehari-hari.
Isu ini seolah membelah masyarakat menjadi beberapa kubu yang saling berseteru. Akibatnya, banyak orang mudah terpancing emosi ketika muncul kabar yang dianggap menyerang kelompoknya meski kebenarannya masih simpang siur.
Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah kondisi emosional kita memang mudah dipengaruhi orang lain? Dan mengapa beberapa orang memiliki respons emosional berbeda dalam menanggapi suatu peristiwa?
Berdasarkan studi yang dilakukan pakar psikologi Stanford University, motivasi seseorang memiliki peran penting dalam bagaimana seseorang merespons suatu kabar, serta bagaimana kabar tersebut memengaruhi emosinya.
Baca juga: Marah Usai Nonton “Sexy Killers”? Buat Perubahan dengan Tindakan Ini
Studi menunjukkan, orang yang bersikap tenang dan tidak terlalu peduli pada suatu kabar tidak mudah terpengaruh oleh kemarahan orang lain.
Sementara orang yang sejak awal merasa gelisah dan tidak puas akan sesuatu lebih cepat tersulut amarahnya.
Peneliti mengamati, orang yang memiliki keinginan untuk marah akan merasa lebih emosional saat mengetahui orang lain memendam perasaan marah yang sama.
Hal ini menciptakan kondisi yang dikenal dengan istilah echo chamber di mana seseorang yang semula merasa marah hanya fokus mencari sesuatu yang membuatnya lebih emosional untuk membenarkan perasaannya.
Studi ini dilakukan dengan memeriksa reaksi kemarahan107 partisipan terhadap beberapa kejadian terkait politik yang dapat memicu emosi mereka.
Hal ini dilakukan lewat beberapa foto yang dianggap sensitif, seperti foto pembakaran bendera Amerika Serikat dan gambar-gambar skandal penyiksaan tahanan oleh tentara Amerika Serikat di penjara Abu Ghraib, Irak.
Hasilnya, partisipan yang semula menunjukkan sikap tenang memiliki peluang tiga kali lipat dipengaruhi pendapatnya oleh orang yang juga menunjukkan ekspresi tenang, dibandingkan dengan orang yang emosional.
Sebaliknya, orang yang menunjukkan kegelisahan dan kecemasan cenderung lebih mudah dipengaruhi oleh orang yang bersikap emosional dibanding orang yang bersikap tenang.
"Kita telah lama mengetahui bahwa orang sering kali mencoba untuk mengatur emosi mereka saat menghadapi permasalahan. Rangkaian studi ini menunjukkan bahwa tiap orang juga dapat mengatur bagaimana sikap mereka saat dipengaruh oleh emosi orang lain," ujar James Gross, profesor psikologi dari School of Humanities and Sciences, Stanford University, dilansir dari Medical Xpress.
Dalam studi yang sama, para peneliti mencari tahu bagaimana pengaruh media sosial terhadap emosi seseorang secara langsung.
Hal ini dilakukan lewat analisis terhadap berbagai reaksi di media sosial Twitter pascainsiden penembakan Michael Brown di Ferguson, Missouri, pada 2014 yang memicu konflik rasial di Amerika Serikat.