Hasilnya, pengguna Twitter akan lebih reaktif terhadap kicauan yang emosional dibanding kicauan yang mencoba mendinginkan suasana.
Para pengguna Twitter juga aktif merespons kicauan yang memiliki pendapat yang sama dengan mereka, dan menggunakannya untuk mengamplifikasi emosinya agar lebih menonjol di media sosial sehingga menciptakan penyebaran opini yang masif.
Baca juga: Wiranto Benar, Media Sosial Memang Bisa Mengeskalasi Kerusuhan 22 Mei
Selama ini, diasumsikan bahwa emosi seseorang dipengaruhi oleh kondisi sekitarnya secara otomatis dan tidak sadar. Namun, temuan dari studi ini mengubah pandangan tersebut.
"Emosi kita tidaklah pasif ataupun otomatis. Emosi adalah alat yang dapat kita kendalikan untuk mencapai tujuan tertentu," papar Amit Goldberg, pemimpin studi ini.
"Kita mengekspresikan emosi tertentu untuk meyakinkan orang lain agar ikut serta bergabung bersama kita dan membentuk opini dan gerakan kolektif. Dalam media sosial, kita menggunakan emosi untuk menunjukkan kepada orang lain bahwa kita peduli terhadap suatu isu tertentu, dan memberitahukan kepada orang-orang bahwa kita tergabung di dalamnya," katanya.
Hal ini dapat menjelaskan mengapa muncul dikotomi simpatisan politik dalam waktu sekitar berlangsungnya pemilu, yang terus berlanjut hingga kini. Namun, hal ini tidak hanya terbatas pada politik, tapi juga pada isu lain, seperti sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Agar dapat bersikap tenang, obyektif, dan tidak mudah terpancing, Goldberg menyarankan agar lebih selektif dalam mengonsumsi berbagai informasi dan memilih lingkungan sosial.
"Nampaknya, cara terbaik untuk mengontrol emosi kita dimulai lewat pemilihan lingkungan yang sehat. Jika Anda tidak ingin merasa marah, Anda dapat menjauhi orang-orang yang emosional," katanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.