Hal ini menciptakan kesenjangan dan keterpisahan antara pengalaman aktual di tempat tersebut dengan imaji dan persepsi pengalaman yang ingin mereka ciptakan, sehingga orang lain akan menyanjung foto tersebut.
Dengan kata lain, kita menjadi tidak tertarik untuk benar-benar merasa bahagia, namun kita ingin dipandang sebagai orang yang bahagia oleh publik. Hal ini menjadikan kita semakin narsistik dan hau akan pengakuan orang lain, bahkan yang tidak kita kenal sekalipun.
Dan sebagian orang rela menghabiskan waktu dan biaya demi pengalaman semu belaka.
"Mengamati karya seni atau mendaki gunung mengajak kita untuk menciptakan dan memikirkan makna hidup. Tapi di lokasi seperti museum pop-up ini, ide untuk berinteraksi dengan dunia tampak begitu transaksional sehingga peranan kita sebagai suatu individu yang unik nyaris lenyap begitu saja," tutur Hess.
Fenomena serupa juga dijumpai pada konser musik, di mana penonton sibuk untuk merekam konser lewat gadget mereka, dibandingkan menikmati konser tersebut secara langsung.
Baca juga: Studi: Perilaku Pecandu Media Sosial Mirip Kecanduan Narkoba
Membatasi jebakan internet
Setelah menyadari hal tersebut, lantas mungkinkah kita benar-benar unplug dari internet?
Dengan begitu mengakarnya internet dalam keseharian, sepertinya hal tersebut nampak mustahil.
Meski demikian, terdapat beberapa upaya yang bisa kita lakukan, menurut Jakub Kus, pakar psikologi dari SWPS University of Social Sciences and Humanities.
Kus menyarankan kita untuk sadar akan istilah virtual archive trap.
"Anda tidak harus mengambil gambar untuk setiap tempat yang anda kunjungi, setiap makanan dan setiap menit kehidupan anda untuk kemudian dibagikan secara online. Biarkan diri anda untuk benar-benar menikmati dan mengalami momen, dan lupakan segala hal seperti pose yang sempurna atau frame terbaik untuk foto anda," jelas Kus.
Saat ini, media sosial menjadi gudang penyimpan milyaran foto, yang senantiasa terus bertambah dan diperbarui setiap saat oleh berbagai pengguna internet.
Namun, bukan berarti anda dilarang untuk mengunggah foto ke internet.
"Tidak ada yang salah dengan berbagi foto dengan teman anda, tapi baiknya kita membatasi diri agar tidak kehilangan kendali. Penting untuk diingat bahwa dunia yang kita lihat secara langsung melalui mata kita jauh lebih berharga karena bisa kita sentuh dan rasakan, dibandingkan dunia yang terjebak dalam lensa foto atau layar tablet," paparnya.
Kus juga mengingatkan akan bahaya yang dapat ditimbulkan akibat obsesi media sosial.
"Menilai identitas diri anda hanya dari jumlah like di media sosial dapat menimbulkan bahaya psikologis dengan konsekuensi jangka panjang," tambahnya.
Baca juga: Kongres Sains India: Internet dan Pesawat Ada sejak Zaman Mahabarata
Kus memperingati agar tidak memandang identitas virtual di internet sebagai satu-satunya bukti eksistensi seseorang. Seharusnya, kita lebih mengapresiasi pengalaman dan interaksi secara langsung yang dapat menciptakan memori bersama yang dapat dikenang oleh orang terdekat.
Kita perlu mengingat bahwa akun media sosial hanyalah sekedar media untuk memudahkan komunikasi, bukan indentitas total yang merepresentasikan seluruh aspek kehidupan kita di dunia nyata. Jangan biarkan internet dan media sosial menentukan dan mendikte tingkat self-esteem dan jati diri seseorang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.