Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Puasa Internet di Tengah Era Digital, Mungkinkah Hal Ini Dilakukan?

Kompas.com - 13/06/2019, 17:32 WIB
Julio Subagio,
Gloria Setyvani Putri

Tim Redaksi

Ketergantungan kita pada teknologi digital juga melemahkan memori kita, seperti kemampuan untuk mengingat nomor telepon, hari dan tanggal, jadwal harian, atau nama orang.

Salah satu studi menunjukan bahwa semakin lama seseorang fokus untuk mengambil gambar atau video untuk suatu peristiwa, maka peristiwa tersebut menjadi sulit untuk diingat.

Memori kita menjadi lebih singkat dan beberapa bulan kemudian, memori akan kejadian tersebut lenyap dari ingatan.

Kultur Instagram & museum pop-up

Mungkin suatu saat kita juga merasakan kebosanan akan hiruk-pikuk dunia maya, sehingga mencoba untuk berlibur ke alam terbuka, entah itu ke pantai atau mendaki gunung, misalnya.

Namun, saat tiba di lokasi, muncul dorongan untuk mengabadikan momen liburan dalam bentuk foto atau video, untuk kemudian diunggah dan dibagikan lewat akun media sosial.

Kondisi ini memunculkan suatu fenomena yang dikenal sebagai kultur Instagram, di mana imaji diri dan status sosial seseorang ditentukan lewat profil dan aktivitasnya di akun media sosial.

Alih-alih menikmati secara langsung pemandangan alam terbuka, seseorang menjadi secara naluriah memikirkan panorama mana yang cocok menjadi latar belakang foto selfie, titik mana yang memiliki tingkat pencahayaan paling bagus, dan pose seperti apa yang pas dengan komposisi foto.

Setelah foto diambil, pikiran kita akan beralih untuk memilih foto mana yang paling representatif serta filter apa yang cocok untuk digunakan.

Kultur Instagram ini juga memunculkan berbagai lokasi yang secara khusus ditujukan sebagai lokasi pengambilan foto. Lokasi yang dikenal dengan istilah museum pop-up ini mulai menjamur di beberapa kota besar, tak terkecuali di Indonesia.

Museum pop-up ini menawarkan "pengalaman" khusus yang tidak didapatkan di lokasi lain. Lokasi ini diwarnai dengan dekorasi unik nan berwarna yang sekilas memanjakan mata.

"Internet merupakan ruang visual, dan museum ini dengan hiasan kolam permen dan berbagai properti emoji berukuran raksasasa, khusus didesain untuk menyesuaikan grid Instagram. Apa lagi yang kurang?" ujar Amanda Hess, jurnalis dan kritikus New York Times.

Dalam tulisannya, Hess mengkritik secara sinis bermunculannya museum pop-up, yang dinilainya sebagai pemicu krisis eksistensial. Menurutnya, tidak ada pengalaman nyata yang didapat dari lokasi tersebut, selain kelelahan karena harus mengantre sekian lama untuk mendapatkan foto yang ideal.

Hess mengamati bahwa pengunjung museum pop-up ini hanya ingin memperoleh beberapa foto dengan muka tersenyum dan nampak bahagia, yang kemudian diunggah ke akun media sosial untuk mendapatkan like dari sekumpulan orang yang tidak benar-benar dikenalnya.

Padahal setelahnya, foto tersebut akan terlupakan begitu saja, dan pencarian akan lokasi instagrammable lain dimulai.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau