KOMPAS.com - Rabu (22/05/2019) kemarin, masyarakat Indonesia dihebohkan dengan kesulitan mengakses beberapa media sosial.
Layanan pesan Whatsapp, Facebook, dan Instagram memang tengah diblokir aksesnya oleh pemerintah demi mengangkal peredaran berita palsu atau hoaks.
Pemblokiran ini sempat membuat panik warganet. Pasalnya, ketiga platform tersebut cukup digandrungi oleh warganet di Indonesia.
Hal ini menyadarkan kita media sosial telah mengubah cara komunikasi dunia. Bahkan, tak bisa mengakses media sosial saja sudah membuat kita merasa kesusahan.
Masyarakat kini lebih mengandalkan media sosial untuk berkomunikasi dengan teman dan keluarga. Tak hanya itu, media sosial menjadi tempat warganet untuk memperoleh informasi terkini serta hiburan.
Baca juga: Wiranto Benar, Media Sosial Memang Bisa Mengeskalasi Kerusuhan 22 Mei
Media sosial sendiri merupakan sebuah istilah yang terbilang baru, sesuai dengan masa kemunculannya.
Kemunculan Media Sosial
Sejarah media sosial bermula pada akhir abad ke-19. Titik awalnya adalah teknologi telegraf yang dikirimkan oleh Samuel Morse pada 1844.
Meski begitu, banyak orang berpendapat bahwa telegraf tidak bisa masuk dalam terminologi media sosial karena tidak online.
Sedangkan media sosial sendiri dianggap sebagai teknologi komunikasi yang berbasis internet. Karena itu, pertumbuhan internet pada 1970-an menjadi awal mula dari media sosial.
1978, media sosial pertama tercipta. Bentuknya adalah Bulletin Board System (BBS), sebuah platform yang mengumumkan pertemuan dan berbagi informasi dengan mengunggahnya di BBS.
Ini menjadi tonggak komunitas vitrual pertama dalam sejarah.
Selanjutnya, pada 1979, kemunculan UserNet membuat orang mulai menggunakan komunikasi virtual dari buletin, artikel, atau newsgroup online.
Pada 1995, ketika WWW diluncurkan, orang mulai ingin membuat situs web pribadi masing-masing. Situs pribadi ini memungkinkan mereka berbagi dan berkomunikasi lewat internet.
Saat itu, media sosial hanya digunakan untuk berbagi saja atau belum ada jejaring pertemanan virtual.
Jejaring pertemanan virtual baru muncul pada 1997 dengan layanan Six Degrees. Platform ini memungkinkan penggunanya membuat profil dan daftar teman.
Sedangkan pada media sosial untuk blogging, pada 1999 mulai muncul Blogger dan Livejournal. Dengan layanan ini, pengguna bisa membagikan tulisan dan berkomunikasi melalui blog dan jurnal mereka sendiri.
Sedangkan grup jejaring sosial mulai tumbuh pesat dengan kemunculan Friendster pada 2002. Platform ini memungkinkan pengguna membuat profil dan terkoneksi secara virtual dengan orang di seluruh dunia.
Baca juga: Studi: Perilaku Pecandu Media Sosial Mirip Kecanduan Narkoba
Friendster kemudian digandrungi anak muda pada masanya. Kesuksesan tersebut memicu munculnya jejaring pertemanan yang lain dengan spesifikasi berbeda seperti MySpace untuk musik dan LinkedIn untuk bisnis atau pekerjaan.
Pada 2004, Mark Zuckerberg meluncurkan jejaring pertemanan lain yaitu Facebook. Mulanya, layanan ini digunakan sebagai jejaring sosial para mahasiswa.
Namun, seiring berjalannya waktu, Facebook boleh diakses bagi siapa saja yang berusia di atas 13 tahun. Facebook hingga kini tetap digandrungi oleh banyak warganet.
Para pekerja kreatif terus mengembangkan media sosial jenis lain. Hingga pada 2005, Youtube diluncurkan.
Youtube menjadi salah satu media sosial pembeda karena berbagi menggunakan video.
Dalam blogging atau berbagi melalui tulisan, tahun 2006 muncul Twitter. Berbeda dengan media sosial blogging yang lain, Twitter memilih disebut dengan microblogging karena ada pembatasan karakter.
Twitter menawarkan cara komunikasi yang singkat dan padat bagi para penggunanya. Alih-alih merasa kesusahan, pengguna justru merasa tertantang dengan batasan karakter tersebut.
Mencari bentuk baru media sosial juga dilakukan oleh Kevin Systrom dan Mike Krieger. Mereka kemudian membuat Instagram pada 2010.
Layanan ini secara eksklusif memfokuskan diri dengan berbagai foto dan video.
Tahun berikutnya, 2011, layanan Snapchat diluncurkan. Aplikasi ini berfokus pada berbagai cerita video yang hanya dapat dilihat dalam waktu 24 jam saja.
Memunculkan Fenomena FOMO
Banyaknya aplikasi yang terus berkembang membuat masyarakat kian sulit melepaskan diri dari "jerat" media sosial. Bahkan, sehari tanpa media sosial membuat banyak orang merasa hampa.
Itu karena media sosial sudah menjadi bagian integral dalam kehidupan manusia masa kini. Media sosial bahkan telah mempengaruhi perilaku, hubungan sosial, dan kesehatan mental kita.
Baca juga: Kerap Lihat Media Sosial Bikin Perempuan Tak Percaya Diri
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa tiba-tiba tak bisa mengakses media sosial dalam jangka waktu tertentu bisa menimbulkan kecemasan, kesepian, bahkan depresi.
Hal itu disebabkan oleh fear of missing out (FOMO) atau takut ketinggalan (baik informasi maupun tren terkini). FOMO sendiri adalah efek kesehatan mental akibat secara terus menerus menggunakan media sosial.
Hasilnya, ketika mendadak tidak bisa menggunakan media sosial seperti kemarin, banyak orang merasa panik, cemas, hingga kesepian.
Banyak orang merasa takut menjadi kurang update terhadap informasi terkini, baik dalam lingkup pertemanan maupun lingkungan yang lebih luas. Ini menimbulkan perasaan ditinggalkan oleh orang-orang di sekitarnya.
Perasaan-perasaan inilah yang kemudian membuat banyak orang masuk dalam cengkeraman kecanduan media sosial.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.