Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
The Conversation
Wartawan dan akademisi

Platform kolaborasi antara wartawan dan akademisi dalam menyebarluaskan analisis dan riset kepada khalayak luas.

Neurosains Jelaskan Cara Kerja Otak Sulut Kerusuhan 22 Mei 2019

Kompas.com - 23/05/2019, 16:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Bagaimana proses di otak kemudian menyulut tindak kekerasan?

Amigdala yang mengatur rasa takut dan hipotalamus yang mengatur nafsu merupakan bagian integral dari kemampuan leluhur manusia bertahan hidup. Contohnya, ketika melihat predator yang berbahaya, amigdala akan merangsang rasa takut yang akan mengaktifkan hipotalamus.

Hipotalamus berfungsi untuk mengatur kelenjar-kelenjar hormon seperti hipofisis yang merangsang kelenjar adrenal menghasilkan adrenalin, hormon yang mendorong pengaturan energi.

Adrenalin membuat jantung berdetak lebih kencang sehingga persediaan oksigen dalam darah meningkat dan dapat mengubah cadangan glukosa dalam tubuh manusia menjadi energi lebih cepat.

Reaksi yang timbul bisa dua: lari atau bertarung menghadapi ancaman. Keduanya membutuhkan energi.

Otak kuno manusia masih mengatur cara manusia modern bereaksi terhadap rangsangan yang kita terima, meskipun rangsangan bukan melihat singa berdiri di depannya, tetapi misalnya membaca pesan yang mengancam keyakinannya.

Membaca berita, baik palsu maupun benar, tetap dapat menghasilkan reaksi lari atau bertarung.

Pesan-pesan hoaks yang disisipi simbol keagamaan, misalnya takbir untuk komunitas muslim atau kalimat “Terpujilah Yesus” dapat mengancam keyakinan penerima pesan jika tidak diikuti. Otak kuno kita yang ingin mempertahankan keyakinan yang kita pegang akan sampai pada kesimpulan, jika kita tidak mempercayai pesan ini berarti kita tidak beragama.

Keputusan otak kita untuk bereaksi lari atau bertarung diambil dalam waktu yang sangat cepat mempertimbangkan keuntungan untuk dirinya, probabilitas keberhasilan, serta risiko.

Karena itulah berada dalam kerumunan biasanya meningkatkan rasa percaya diri untuk bertarung karena meningkatkan probabilitas keberhasilan dan mengurangi resiko keamanan ketimbang melawan sendirian.

Bagaimana cara mencegahnya?

Banyak pihak yang mencoba memanfaatkan proses bertindak yang didorong oleh otak kuno kita. Pengiklan biasanya mengirimkan pesan-pesan yang membuat seseorang tidak percaya diri sehingga mendorong mereka membeli produk. Untuk kepentingan politik, berbagai pihak kerap menyebar pesan yang menyulut emosi.

Kita bisa mengendalikan itu jika kita mengetahui cara otak kita bekerja, dan bahwa kemungkinan besar rasa takut dan nafsu amarah kita didorong oleh proses informasi secara cepat tanpa logika oleh otak kuno kita.

Seringkali penyebar hoaks menyisipi pesannya dengan berbagai aksesori yang menyentuh keyakinan penerima pesan. Misalnya dalam pesan tersebut banyak sisipan pesan agama atau embel-embel predikat gelar dari penulis atau narasumber.

Kita perlu tidak terburu-buru terpengaruh oleh aksesoris simbol agama atau gelar dalam suatu pesan. Semakin banyak aksesoris tersebut kita harus waspada untuk mengaktifkan otak besar kita dan tidak dikendalikan oleh otak kuno kita.

Berry Juliandi

Lecturer in Biology, Head of Veterinary Stem Cells Laboratory (PPSHB-IPB), Institut Pertanian Bogor

Artikel ini ditayangkan atas kerja sama Kompas.com dan The Conversation Indonesia. Tulisan diambil dari artikel asli berjudul "Aksi demo 22 Mei dalam neurosains: bagaimana proses kerja otak menyulut kekerasan".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau