Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

IDI: Kelelahan Bukan Penyebab Utama Kematian Mendadak Petugas KPPS

Kompas.com - 13/05/2019, 19:32 WIB
Julio Subagio,
Shierine Wangsa Wibawa

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Hingga saat ini, tercatat sedikitnya 583 orang petugas KPPS pada Pemilu 2019 dinyatakan telah meninggal dunia, sedangkan sekitar 4.602 orang lainnya sakit.

Hal ini mengundang pertanyaan publik, apa sebenarnya yang menjadi penyebab angka kematian petugas KPPS begitu tinggi, yang terjadi dalam waktu singkat, dan memiliki penyebaran yang luas ini?

Ditenggarai, beban kerja yang terlampau berat dan kelelahan menjadi penyebab utamanya.

Namun, tidak demikian menurut para pakar dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Baca juga: Angka Kematian Petugas KPPS Tinggi, Kemenkes Adakan Otopsi Verbal

Menurut IDI, kelelahan bukanlah penyebab utama, melainkan hanya pemicu munculnya gejala penyakit lain yang menyebabkan kematian mendadak, seperti gagal jantung dan stroke.

“Mengacu pada definisi dari World Health Organization (WHO), kematian mendadak adalah kematian dalam jangka waktu kurang dari 24 jam dari kemunculan gejala, tanpa adanya sebab yang jelas," jelas Prof. DR. Dr. Zubairi Djoerban, Sp.PD, KHOM.

"Kemungkinan tertinggi penyebabnya gagal jantung atau stroke, yang bisa dipicu kelelahan, dehidrasi, atau stress," ujarnya lagi pada diskusi publik bertajuk "Membedah Persoalan Kematian Mendadak Petugas Pemilu dari Perspektif Keilmuan" di Jakarta, Senin (13/5/2019).

Menurut data yang saat ini telah berhasil dihimpun oleh Kementrian Kesehatan, terdapat 13 penyakit yang menyebabkan tingkat kematian petugas KPPS pada 2019 ini.

13 penyakit itu adalah gagal jantung, stroke, infark miokard (serangan jantung akibat penyempitan pembuluh koroner), koma hepatikum, respiratory failure (gangguan saluran pernapasan), hypertensi emergency, meningitis, sepsis, asma, diabetes melitus, gagal ginjal, MERS, dan kegagalan multiorgan.

Tiga yang tertinggi adalah gagal jantung, stroke, dan infark miokard.

Menurut Zubairi, kematian mendadak ini dapat terjadi pada orang yang memiliki tingkat aktivitas tinggi, bahkan pada kalangan atlet yang memiliki tubuh bugar sekalipun.

“Di Jepang, ini dikenal dengan istilah karoshi, atau overwork death, di mana terjadi gagal jantung atau stroke dipicu oleh kelelahan, stress, dan kelaparan akibat jam kerja yang berlebihan,” tambahnya.

Baca juga: Bencana Kemanusian Pemilu 2019, Pembelajaran untuk Mitigasi Kesehatan

Hal senada juga diungkapkan oleh Dr. dr. Anwar Santoso, Sp.JP(K). Anwar. Dia mengatakan bahwa kebanyakan kasus kematian mendadak merupakan gangguan jantung atau pembuluh darah, yang membutuhkan penanganan medis sesegera mungkin.

“Pada kematian mendadak, dimensi waktunya hanya hitungan menit, dari arrythmia (ritme jantung tak beraturan), dalam lima menit saja bisa terjadi cardiac arrest (henti jantung). Waktu kritis untuk resusitasi hanya empat setengah menit saja,” paparnya.

Penyebab ketidakteraturan denyut jantung ini beragam, mulai dari jantung koroner, penyakit kardiovaskuler lain, ataupun faktor genetik.

Namun, berdasarkan studi, kondisi ini dapat dipicu oleh berbagai hal, termasuk kelelahan, stres, faktor kepribadian, dan usia.

Baca juga: Menkes: Petugas KPPS Mestinya Shifting

Anwar juga menjelaskan bahwa orang dengan rentang usia sekitar 50-70 tahun memiliki risiko tertinggi untuk gangguan jantung. Namun, potensi ini dapat dipantau melalui beberapa prediktor, diantaranya kebiasaan merokok, diabetes, hipertensi, obesitas, adanya psychososial stress, dan alkohol.

“Interaksi antara tekanan psikologis berat dengan potensi jantung koroner akan meningkatkan risiko kematian akibat penyakit kardiovaskuler”, imbuhnya.

Beban tugas yang terlampau tinggi serta jam kerja yang tidak memungkinkan istirahat diyakini sebagai penyebab awal tingginya tingkat keletihan yang berujung pada munculnya berbagai penyakit dan kematian.

“Aktivitas tinggi dapat menyebabkan penurunan kerja otak dan penyumbatan pembuluh darah melalui pembentukan plak, yang berujung pada stroke,” ujar dr. Rakhmad Hidayat, SpS.

Rakhmad menekankan bahwa stroke bukanlah awal pangkal permasalahan, melainkan ujung yang berbatasan dengan kematian.

“Kita harus cari tahu pangkalnya, bisa dengan membaca rekam medisnya.” imbuhnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com