KOMPAS.com – Tingginya angka kematian petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) pada pelaksanaan Pemilu 2019 saat ini memunculkan perhatian khusus, baik di publik maupun pemerintah.
Sayangnya, hal ini juga dibarengi oleh berseliwerannya informasi yang bersifat praduga dan spekulasi, tanpa ada dasar berita yang jelas atau metode yang mengikuti kaidah ilmiah.
Untuk mengatasi hal tersebut, saat ini Kementrian Kesehatan tengah mengumpulkan data rekam medis dan otopsi verbal terhadap para petugas anggota KPPS yang meninggal maupun sakit.
“Dengan adanya angka kematian dan kesakitan yang tinggi, kami menerbitkan surat edaran pemeriksaan penyebab kematian untuk yang sempat dirawat di rumah sakit, sedangkan yang di luar rumah sakit, dilakukan otopsi verbal,” terang Tri Hesti Widyastuti, Perwakilan Dirjen Pelayanan Kesehatan, Kementrian Kesehatan.
Baca juga: Ratusan Anggota KPPS Meninggal, Tak Tidur Bikin Tubuh Bak Orang Mabuk
Dijelaskan dalam diskusi publik bertajuk "Membedah Persoalan Kematian Mendadak Petugas Pemilu dari Perspektif Keilmuan" di Sekretariat Ikatan Dokter Indonesia (IDI), di Jakarta, Senin (13/5/2019), otopsi verbal adalah investigasi gejala dan penyebab kematian seseorang berdasarkan wawancara terhadap orang terdekat yang menyaksikan kematian.
Untuk saat ini, Hesti menjelaskan bahwa data yang diterima baru berasal dari 17 provinsi. 583 orang dinyatakan meninggal dunia, sedangkan 4.602 orang mengalami sakit.
“Dari angka kematian, yang paling tinggi berasal dari Jawa Barat, lalu Kalimantan Selatan. Sedangkan untuk angka kesakitan, terbanyak di DKI Jakarta, lalu Banten, Jawa Timur, dan Jawa Barat”, paparnya.
Berdasarkan data yang diperoleh Kementrian Kesehatan, angka kematian tertinggi terjadi pada petugas dengan rentang usia 50-59 tahun. Sementara itu, penyebab kematian tertinggi merupakan gagal jantung, stroke, dan infark miokard (serangan jantung akibat sumbatan pembuluh darah koroner), juga kecelakaan lalu lintas.
Kekurangan otopsi verbal
Otopsi verbal dilaksanakan karena banyaknya kejadian kematian yang tidak terjadi di rumah sakit dengan gejala yang tidak disaksikan oleh tenaga medis.
Namun, IDI berpendapat bahwa otopsi verbal tidak cukup valid dijadikan acuan untuk mengungkap penyebab kematian.
“Otopsi verbal tidak terlalu valid, karena yang ditanya orang lain, kecuali otopsi verbal hasil otopsi jenazah,” ujar dr. Daeng M Faqih, S.H, M.H, Ketua IDI.
Daeng meragukan hasil otopsi verbal, yang dilakukan atas keputusan bersama Kementrian Dalam Negeri dan Kementrian Kesehatan pada tahun 2010. Otopsi verbal umumnya dipergunakan dalam kepentingan administrasi catatan kependudukan.
“Otopsi verbal tidak tepat dijadikan alat pengungkap kematian yang beruntun, dalam jumlah banyak, dan indikasi sebaran luas,” tambahnya.
Sebagai tanggapan akan hal ini, IDI mengupayakan mengadakan penelitian berbasis keilmuan yang objektif, salah satunya lewat penelaahan rekam medis dan otopsi klinis atas persetujuan keluarga.
IDI juga menghimbau agar para dokter berkoordinasi dalam memberikan dan menyebarkan informasi, khususnya terkait banyaknya praduga dan asusmi yang beredar di publik.
Sebagai bentuk dukungan dan evaluasi pelaksanaan pemilu, IDI menyarakankan dibentuknya prosedur tes medis yang jelas, meliputi tes fisik dan psikiatri, serta disusunnya jam dan beban kerja yang ideal, serta adanya jaminan asuransi kesehatan bagi petugas pemilu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.