Sebaliknya, penggemar teori konspirasi hanya mau percaya pada informasi yang sesuai dengan keyakinannya saja, serta dengan gegabah mengabaikan yang tidak sesuai dengan harapannya. Ini adalah karakteristik khas penggemar teori konspirasi, yaitu memiliki kebiasaan memilih-milih informasi (cherry-picking).
Hal ini ditunjukkan pula oleh Prabowo sendiri dan pendukungnya.
Pada pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017, ia tidak sungkan mendeklarasikan kemenangan pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno yang diusung partainya berdasarkan hasil hitung cepat berbagai lembaga survei independen.
Namun, pada 2019, ketika hasil hitung cepat mengisyaratkan kekalahannya dalam pilpres, ia bersikap sebaliknya. Dalam pidatonya, Prabowo menyerang kredibilitas lembaga-lembaga survei yang ia anggap sengaja menggiring opini bahwa dirinya kalah.
Dengan memilih-milih bukti dan informasi, asumsi seliar apa pun akan mudah dicari bukti dan pembenarannya, tapi kesimpulan yang ditarik akan selalu menyesatkan.
Alasan orang percaya teori konspirasi
Penelitian-penelitian psikologi mengungkapkan beberapa alasan yang mendorong seseorang percaya pada teori konspirasi yang terbagi menjadi empat domain, yaitu: (1) faktor psikologis, (2) motif epistemik yang berkaitan dengan proses kognitif dan pemerolehan pengetahuan, (3) motif eksistensial, dan (4) faktor demografis.
Termasuk dalam domain tersebut adalah kurangnya kemampuan berpikir analitis, adanya perasaan tidak berdaya ketika menghadapi ancaman, menghindari situasi yang penuh ketidakpastian, rasa percaya yang rendah pada otoritas dan menganggap sains sebagai ‘ancaman moral’.
Mengapa teori konspirasi lebih meyakinkan bagi partisan?
Seorang partisan memiliki gaya yang khas dalam memaknai proses politik, yaitu cenderung berpikir dikotomis (baik-buruk, hitam-putih) dengan menganggap orang yang berseberangan dengannya sebagai sosok yang jahat, yang harus dikalahkan.
Partisan juga mengalami gejala yang disebut ‘kelumpuhan epistemologis’ (crippled epistemology).
Ini menggambarkan seseorang akan cenderung melihat pilihan kebijakan yang mereka sukai adalah solusi yang sederhana, sekaligus satu-satunya bagi masyarakat.
‘Kelumpuhan epistemologis’ ini tidak selamanya buruk bagi partisan, karena ini strategi yang ampuh dalam mengatasi kecemasan ketika menghadapi situasi yang penuh ketidakpastian. Namun tentu saja, ‘kelumpuhan epistemologis’ ini yang membuat partisan amat rentan terjangkit mentalitas konspiratif.
Partisan dari berbagai spektrum ideologi sama rentannya terjangkit mentalitas konspiratif, meski kalangan konservatif sering disebutkan lebih rentan.
Riset di Amerika Serikat dan Belanda misalnya, menemukan bahwa kaitan antara ideologi politik dengan kepercayaan pada teori konspirasi menghasilkan hubungan kuadratik (kurva U).
Artinya, orang-orang konservatif dan liberal yang paling ekstrim, sama-sama punya kecenderungan tinggi mempercayai teori konspirasi daripada orang-orang yang lebih moderat.
Cukup mirip dengan kondisi di Indonesia karena di pihak pendukung Jokowi, ada yang sangat percaya bahwa kemenangan Prabowo berarti bentuk negara akan diganti menjadi Khilafah.
Banyak yang mengira berpikir konspiratif sepenuhnya berkarakter irasional, namun faktanya tidak begitu. Berpikir konspiratif adalah bentuk ‘pengacuhan yang rasional’ yang digunakan partisan untuk menyortir informasi dalam rangka mencari-cari alasan pembenaran atas pandangan politik yang sebelumnya sudah sangat ia yakini.