Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Katak Raksasa sampai Orangutan Tapanuli, 5 Bukti Kekayaan Indonesia

Kompas.com - 22/04/2019, 20:06 WIB
Shierine Wangsa Wibawa

Penulis

Indonesia merupakan negeri katak raksasa. Dari 67 jenis katak raksasa di dunia, 25 di antaranya ada di nusantara. Salah satu yang paling terkenal adalah Limnonectes grunniens yang ditemukan berukuran sebesar ayam di Enrekang dua tahun lalu.

Namun, ada spesies katak raksasa lain yang juga membutuhkan perhatian kita. Limnonectes blythii atau katak raksasa melayu tersebar di Sumatera, Malaysia dan Singapura. Betina katak ini bisa mencapai 26 sentimeter, sementara pejantannya hanya 13 sentimeter.

Menurut IUCN, L blythii berstatus hampir terancam. Ia mengalami penurunan populasi kurang dari 30 persen per tahun karena dieksploitasi sebagai bahan makanan. Selain itu, habitatnya, yakni hutan-hutan Sumatera, banyak mengalami kerusakan.

Baca juga: Katak Sebesar Ayam dari Enrekang Ini Buktikan Kekayaan Fauna Nusantara

4. Lebah raksasa Wallace

Lebah raksasa Wallace atau Megachile pluto baru naik daun di Indonesia karena ditemukan kembali di Maluku utara setelah nyaris tak terlihat selama 40 tahun.

Sesuai julukannya, lebah ini memang berukuran sangat besar. Panjang tubuhnya bisa mencapai empat sentimeter, sementara lidahnya mencapai tiga sentimeter. Spesies ini juga memiliki mandibula atau rahang bewah seperti yang dimiliki kumbang rusa.

Pada saat ini, lebah raksasa dapat ditemukan di daerah pegunungan tiga pulau berbeda di Maluku utara. Lokasinya terpencil dan sulit dijangkau manusia.

Namun, bukan berarti spesies inis ecara otomatis terlindungi dari bisnis perburuan lebah yang menjual spesies langka. Selain perburuan ilegal, lebah raksasa Wallace juga terancam oleh hilangnya habitat bila lahan diubah menjadi perkembunan kelapa sawit atau aktivitas lainnya.

Oleh karena itu, lebah raksasa ini perlu dilindungi dan mendapat perhatian lebih dari masyarakat.

Baca juga: Punya Nilai Ekonomi Tinggi dan 6 Fakta Lain Lebah Raksasa Asal Maluku

5. Orangutan tapanuli

Orangutan Tapanuli (Pongo Tapanuliensis) baru diidentifikasikan pada November 2017 oleh para ilmuwan. Bersamaan dengan kabar bahagia penemuan ini, muncul kekhawatiran bahwa spesies ini akan segera punah.

Pasalnya, hanya tersisa tidak sampai 800 ekor orangutan tapanuli di alam. Jumlah itu hanya setengah dari populasinya pada tahun 1985. Populasi ini juga terfragmentasi menjadi tiga blok, yakni blok barat yang berisi 600 individu, blok timur yang berisi 160 invididu dan sibualbuali yang hanya berisi 30 individu.

Padahal, orangutan tapanuli memiliki waktu perkembangbiakan yang lama. Individu spesies ini baru bisa mempunyai anak pada usia 15 tahun dan hanya melahirkan setiap 8-9 tahun. Spesies ini juga bersifat 100 persen arboreal yang artinya mereka sangat bergantung pada hutan dan tidak bisa menyeberangi wilayah yang tidak ada pohonnya.

Pada saat ini, orangutan tapanuli tinggal di habitat yang tidak lebih dari 10 kilometer persegi. Habitat yang sudah sempit semakin terancam oleh pengembangan yang telah direncanakan, yakni PLTA Batangtoru.

Koalisi Indonesia yang sempat melayangkan surat ke Presiden Joko Widodo terkait hal ini menjelaskan bahwa ketiga blok populasi orangutan tapanuli harus segera dihubungkan. Namun, lokasi yang paling memungkinan untuk menghubungkan ketiganya adalah lokasi PLTA Batangtoru.

Proyek tersebut juga dikhawatirkan akan membuat populasi orangutan semakin terfragmentasi karena pembangunan jalan akses dan sutet akan membelah blok barat menjadi dua.

Baca juga: Demi Kera Besar Terlangka di Dunia, Koalisi Indonesia Surati Jokowi

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com