Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Katak Raksasa sampai Orangutan Tapanuli, 5 Bukti Kekayaan Indonesia

Kompas.com - 22/04/2019, 20:06 WIB
Shierine Wangsa Wibawa

Penulis

KOMPAS.com – Kekayaan keragaman fauna Indonesia sudah tidak dimungkiri lagi. Dilansir dari situs WWF Indonesia, nusantara merupakan rumah bagi 12 persen mamalia, 16 persen reptil dan amfibi, 17 persen burung dan 25 persen spesies ikan di dunia, meskipun wilayah kita hanya 1,3 persen dari seluruh permukaan Bumi.

Bila harus didaftar satu per satu, tentu kekayaan kita ini seakan tak ada habisnya. Oleh karena itu, Kompas.com telah memilih lima spesies fauna Indonesia yang perlu Anda kenal.

1. Duyung

DuyungJulien Willem/Wikipedia Duyung

Tahukah Anda, Bintan, Indonesia merupakan salah satu habitat alami terakhir bagi duyung atau dugong? Hal ini dikarenakan kondisi lamun daerah tersebut yang sehat.

Bagi duyung, lamun merupakan makanan dan juga rumah. Sebaliknya, hewan ini berperan besar dalam menyeimbangkan ekosistem lamun yang merupakan tempat hidup bagi beragam komoditas perikanan berharga seperti teripang, baronang, dan rajungan

Sayangnya, spesies ini berstatus rentan punah dalam daftar merah IUCN.

Salah satu faktornya adalah siklus reproduksi duyung yang lambat. Spesies ini butuh 10 tahun untuk menjadi dewasa, hamil selama 14 bulan dengan interval 2,5-5 tahun, hanya melahirkan satu bayi dalam setiap kehamilan dan bergantung pada susu induknya selama 18 bulan.

Namun, duyung juga masih sering diburu pada skala lokal untuk daging, air mata, dan taringnya. Lalu kalau pun tiba di daerah yang tidak memburunya, duyung masih sering ditemukan terjaring atau tertabrak kapal.

Baca juga: 5 Kemiripan Duyung dengan Manusia, dari Jari sampai Air Mata

2. Badak sumatera

Pahu, Badak Sumatera yang berhasil ditangkap Balai Konservasi Sumber Daya Alam di hutan Kalimantan Timur. Saat ini kondisi Pahu baik, dan terpantau stabil.(Kementerian Lingkungan Hidup) Pahu, Badak Sumatera yang berhasil ditangkap Balai Konservasi Sumber Daya Alam di hutan Kalimantan Timur. Saat ini kondisi Pahu baik, dan terpantau stabil.

Lebih mengenaskan dari nasib duyung adalah badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) yang berstatus terancam kritis. Sudah berhadapan dengan fase kepunahan selama 10.000 tahun, populasi spesies ini diperkirakan pada 2008 hanya tinggal 220-275 ekor saja dengan 100 ekor di Sumatera dan 23 ekor di Kalimantan. Itu pun trennya terus menurun.

Seperti duyung, badak berbulu ini memiliki siklus perkembangbiakan yang lambat.

Badak betina baru mencapai tingkat kematangan seksual pada umur 6-7 tahun, sementara jantannya pada umur 10 tahun. Lalu, sang betina hanya kawin sekali setiap empat atau lima tahun, yang bila berhasil akan diikuti dengan kehamilan selama 16 bulan. Setelah lahir pun, anak badak tinggal dengan induknya selama 2-3 tahun.

Selain itu, upaya pelestarian badak juga ditantang oleh perubahan habitat dan aktivitas masyarakat di Sumatera, serta tambang dan pemasangan jerat di Kalimantan.

Padahal, jika satwa ini mati, seluruh genus Dicerorhinus juga punah. Sebab, badak sumatera merupakan spesies terakhir dari genus yang berevolusi 15-20 juta tahun ini.

Baca juga: Kisah Badak Sumatera Berjuang dari Kepunahan Selama 10.000 Tahun

3. Katak raksasa Limnonectes blythii

Limnonectes blythiiRushenb/Wikipedia Limnonectes blythii

Indonesia merupakan negeri katak raksasa. Dari 67 jenis katak raksasa di dunia, 25 di antaranya ada di nusantara. Salah satu yang paling terkenal adalah Limnonectes grunniens yang ditemukan berukuran sebesar ayam di Enrekang dua tahun lalu.

Namun, ada spesies katak raksasa lain yang juga membutuhkan perhatian kita. Limnonectes blythii atau katak raksasa melayu tersebar di Sumatera, Malaysia dan Singapura. Betina katak ini bisa mencapai 26 sentimeter, sementara pejantannya hanya 13 sentimeter.

Menurut IUCN, L blythii berstatus hampir terancam. Ia mengalami penurunan populasi kurang dari 30 persen per tahun karena dieksploitasi sebagai bahan makanan. Selain itu, habitatnya, yakni hutan-hutan Sumatera, banyak mengalami kerusakan.

Baca juga: Katak Sebesar Ayam dari Enrekang Ini Buktikan Kekayaan Fauna Nusantara

4. Lebah raksasa Wallace

Lebah raksasa Wallace difoto oleh Clay Bolt di luar rumahnya. Spesies yang telah menghilang selama 40 tahun ini ditemukan di kepulauan Maluku. Lebah raksasa Wallace difoto oleh Clay Bolt di luar rumahnya. Spesies yang telah menghilang selama 40 tahun ini ditemukan di kepulauan Maluku.

Lebah raksasa Wallace atau Megachile pluto baru naik daun di Indonesia karena ditemukan kembali di Maluku utara setelah nyaris tak terlihat selama 40 tahun.

Sesuai julukannya, lebah ini memang berukuran sangat besar. Panjang tubuhnya bisa mencapai empat sentimeter, sementara lidahnya mencapai tiga sentimeter. Spesies ini juga memiliki mandibula atau rahang bewah seperti yang dimiliki kumbang rusa.

Pada saat ini, lebah raksasa dapat ditemukan di daerah pegunungan tiga pulau berbeda di Maluku utara. Lokasinya terpencil dan sulit dijangkau manusia.

Namun, bukan berarti spesies inis ecara otomatis terlindungi dari bisnis perburuan lebah yang menjual spesies langka. Selain perburuan ilegal, lebah raksasa Wallace juga terancam oleh hilangnya habitat bila lahan diubah menjadi perkembunan kelapa sawit atau aktivitas lainnya.

Oleh karena itu, lebah raksasa ini perlu dilindungi dan mendapat perhatian lebih dari masyarakat.

Baca juga: Punya Nilai Ekonomi Tinggi dan 6 Fakta Lain Lebah Raksasa Asal Maluku

5. Orangutan tapanuli

Orangutan Tapanuli (Pongo Tapanuliensis) baru diidentifikasikan pada November 2017 oleh para ilmuwan. Bersamaan dengan kabar bahagia penemuan ini, muncul kekhawatiran bahwa spesies ini akan segera punah.

Pasalnya, hanya tersisa tidak sampai 800 ekor orangutan tapanuli di alam. Jumlah itu hanya setengah dari populasinya pada tahun 1985. Populasi ini juga terfragmentasi menjadi tiga blok, yakni blok barat yang berisi 600 individu, blok timur yang berisi 160 invididu dan sibualbuali yang hanya berisi 30 individu.

Padahal, orangutan tapanuli memiliki waktu perkembangbiakan yang lama. Individu spesies ini baru bisa mempunyai anak pada usia 15 tahun dan hanya melahirkan setiap 8-9 tahun. Spesies ini juga bersifat 100 persen arboreal yang artinya mereka sangat bergantung pada hutan dan tidak bisa menyeberangi wilayah yang tidak ada pohonnya.

Pada saat ini, orangutan tapanuli tinggal di habitat yang tidak lebih dari 10 kilometer persegi. Habitat yang sudah sempit semakin terancam oleh pengembangan yang telah direncanakan, yakni PLTA Batangtoru.

Koalisi Indonesia yang sempat melayangkan surat ke Presiden Joko Widodo terkait hal ini menjelaskan bahwa ketiga blok populasi orangutan tapanuli harus segera dihubungkan. Namun, lokasi yang paling memungkinan untuk menghubungkan ketiganya adalah lokasi PLTA Batangtoru.

Proyek tersebut juga dikhawatirkan akan membuat populasi orangutan semakin terfragmentasi karena pembangunan jalan akses dan sutet akan membelah blok barat menjadi dua.

Baca juga: Demi Kera Besar Terlangka di Dunia, Koalisi Indonesia Surati Jokowi

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com