KOMPAS.com - Perempuan di dunia selalu memperingati International Women's Day pada 8 Maret. Bebicara tentang penemuan yang mengubah dunia perempuan, salah satunya adalah pembalut menstruasi.
Tak bisa dipungkiri, pembalut sekali pakai adalah teknologi yang mengubah cara seluruh perempuan di dunia menangani "tamu" bulanan mereka.
Tapi tentu saja, pembalut sekali pakai tidak begitu saja tercipta. Ada sejarah panjang tentang benda yang satu ini.
Dalam sejarah, pada awal abad ke-4 di Yunani Kuno, pembalut pra-modern telah digunakan. Saat itu, perempuan menggunakan kain untuk menampung darah kewanitaannya.
Baca juga: Kadar Klorin pada Pembalut Belum Diatur SNI
Selain kain, mereka juga menggunakan kapas atau wol domba dalam pakaian mereka untuk membendung aliran darah menstruasi.
Pemikir Yunani terkemuka Hypatia bahkan melemparkan kain bekas menstruasi tersebut kepada para pengagum laki-lakinya untuk mengusir mereka.
Sebaliknya di China, para perempuan menggunakan kain yang diisi pasir sebagai pembalut menstruasi. Ketika kain itu cukup basah, mereka akan membuang pasir dan mencuci kainnya.
Di masa Mesir Kuno, para perempuan menggunakan papirus sebagai alas haid mereka. Sebelum digunakan, papirus direndam dalam air terlebih dahulu.
Pembalut sekali pakai pertama dipikirkan oleh para perawat selama masa perang. Tujuan sama sekali bukan untuk menstruasi perempuan, melainkan untuk para pria.
Tepatnya, untuk menghentikan pendarahan bagi para prajurit yang bertempur.
Sekitar abag ke-19, pembalut sekali pakai pertama dibuat oleh perawat Perancis dari perban bubur kayu. Ya, saat itu pembalut tidak dibuat dari kapas karena ketersediaannya yang sangat terbatas.
Para perawat membuat pembalut dari sphagnum moss, tanaman yang sangat mudah menyerap dengan sifat antimikroba.
Perusahaan besar mulai memproduksinya secara massal dengan nama Cellucotton. Pada akhir perang pada tahun 1918, produsen Cellucotton mulai kebingungan karena surplus pembalut.
Para prajurit dan palang merah tidak lagi membutuhkan mereka. Perban-perban ini cukup murah untuk dibuang sehingga para perawat mulai menggunakannya untuk menstruasi mereka.
Baca juga: Pembalut Kain Lebih Aman Digunakan?
Terinspirasi dari para perawat, perusahaan ini kemudian mengembangkan produk konsumen komersial yang layak untuk perempuan di mana saja. Mereka kemudian berganti nama sebagai pambalut Kotex pada 1920.
Pada masa itu, sebagian besar perempuan menggunakan kain flanel untuk mengatasi menstruasi mereka. Sayangnya, kain flanel memiliki harga cukup mahal untuk dijangkau semua kalangan.
Beberapa perempuan lain menggunakan sabuk mesnstruasi, yaitu pita perekat yang ditempatkan di bagian bawah bantalan untuk menempel pada pelana celana.
Namun, sabuk menstruasi ini cukup menyulitkan dipakai.
Hal tersebut membuat pembalut menstruasi dengan cepat mendapatkan popularitas.
Setelah berpuluh tahun tidak tergantikan, pada abad ke-21, muncul tampon dan cangkir menstruasi.
Cara ini sering dianggap lebih baik dibanding pembalit sekali pakai yang kerap menggunakan pemutih.
Selain itu, pembalut sekali pakai juga dianggap kurang ramah lingkungan. Beberapa perempuan memilih menggunakan cangkir menstruasi atau menstruation pad yang bisa dicuci kembali.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.