KOMPAS.com – Koalisi Indonesia melayangkan surat kepada Presiden Joko Widodo pada Selasa (5/3/2019) terkait pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Batangtoru di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Mereka meminta agar Jokowi membatalkan pembangunan bendungan PLTA Batangtoru demi keselamatan orangutan Tapanuli.
Koalisi ini terdiri dari Glenn Hurowitz selaku CEO Mighty Earth, Panut Hadisiswoyo selaku Founding Director Orangutan Information Centre, Hardi Baktiantoro dari Center of Orangutan Protection, dan Arrum dari Sumatran Orangutan Conservation Programme.
Mereka juga didukung oleh berbagai organisasi internasional, seperti ALERT, IUCN SSC Primate Specialist Group dan International Primatological Society, akademisi, politikus luar negeri dan organisasi-organisasi lokal.
Baca juga: Cerita Kami Menemukan Orangutan Tapanuli, Jenis Baru dan Terlangka
Dalam salinan surat yang dibagikan kepada awak media, Koalisi Indonesia menulis kepada Jokowi, kami mendesak Anda untuk mengambil tindakan heroik untuk melindungi spesies orangutan Tapanuli yang baru ditemukan dengan membatalkan usulan pembangunan proyek bendungan Batangtoru.
“Pembangunan bendungan Batangtoru disetujui sebelum spesies orangutan Tapanuli (Pongo Tapanuliensis) diidentifikasi pada tahun 2017 oleh para ilmuwan,” tulis mereka.
Daripada membuat PLTA yang hanya menghasilkan 510 megawatt listrik, Koalisi Indonesia lebih menyarankan pemerintah untuk memanfaatkan opsi alternatif yang lebih ramah lingkungan, seperti tenaga surya atau panas bumi.
Pada saat ini, sebetulnya sudah ada proyek geothermal MW Sarulla yang menghasilkan 330 megawatt listrik untuk daerah tersebut. Proyek ini, ujar Koalisi Indonesia, bisa dikembangkan menjadi 1.000 megawatt tanpa menganggu kelangsungan hidup orangutan dan masyarakat yang hidup di hilir sungai Batangtoru.
Kera besar terlangka di dunia dalam jeratan PLTA
Orangutan Tapanuli (Pongo Tapanuliensis) diidentifikasikan oleh Anton Nurcahyo, Dyah Perwitasari-Farajallah, Puji Rianti, Joko Pamungkas dan para ilmuwan lainnya pada November 2017, lebih dari setengah dekade setelah proyek bendungan Batangtoru disusun dan direncanakan.
Pada saat ini, diperkirakan ada sekitar 800 ekor yang tersisa atau hanya setengah dari populasi tahun 1985. Mereka tinggal di ekosistem Batangtoru dalam tiga blok, yakni blok barat yang berisi 600 individu, blok timur yang berisi 160 invididu dan sibualbuali yang hanya berisi 30 individu.
Melihat populasi orangutan yang terfragmentasi ini, Koalisi Indonesia khawatir mereka akan segera punah.
Baca juga: Berdamai dalam Konflik Orangutan
Pasalnya selain waktu perkembangbiakannya yang lama, di mana orangutan Tapanuli baru bisa mempunyai anak pada usia 15 tahun dan hanya melahirkan setiap 8-9 tahun; kerentanan spesies ini juga disebabkan oleh sifatnya yang 100 persen arboreal.
Artinya, mereka sangat bergantung pada habitat hutan dan tidak bisa menyeberangi wilayah yang tidak ada pohonnya, seperti jalan raya.
“Jadi, (ketiga blok) perlu dihubungkan, tapi mustahil kalau ada PLTA. Blok barat dan timur itu sudah terbelah oleh jalan raya,” ujar Panut.