"Ada beberapa karakteristik gempa pembuka," kata Daryono. Setidaknya ada tiga karakteriktik gempa pembuka, antara lain:
1. Terjadi di zona dengan seismisitas rendah
Gempa pembuka biasa terjadi pada zona dengan seismisitas rendah atau secara statistik kegempaan memiliki nilai b-value rendah.
"Jika kita amati wilayah Mentawai memang memiliki tingkat aktivitas kegempaan yang relatif rendah," sambungnya.
2. Adanya migrasi titik hiposenter gempa yang cepat
Karateristik berikutnya adalah adanya migrasi titik hiposenter gempa yang semakin cepat menuju titik inisiasi lokasi estimasi gempa utama (mainshock).
Semakin mendekati waktu terjadinya gempa utama, maka aktivitas gempa pembukanya akan makin banyak.
3. Munculnya aktivitas gempa yang mirip
Ciri lain adalah munculnya aktivitas gempa-gempa yang mirip atau disebut sebagai repeaters.
Repeaters merupakan serangkaian gempa yang terus terjadi secara berulang-ulang di tempat yang relatif "sama" di suatu zona tertentu dekat lokasi yang diestimasi sebagai gempa utama.
Fenomena tersebut menggambarkan adanya proses pembebanan (loading) yang semakin lama semakin intensif sebelum gempa utama terjadi.
"Analoginya mirip kalau kita mau mematahkan sepotong kayu, secara perlahan-lahan ada retakan-retakan kecil di sekitarnya sebelum benar-benar patah," katanya berumpama.
Untuk kasus gempa di Kepulauan Mentawai, Daryono mengatakan bahwa meski nilai b-value cenderung rendah, tapi belum terlihat ada tanda-tanda atau karakteristik gempa pembuka seperti yang tersebut di atas.
"Kita harus terus melakukan monitoring aktivitas gempa di Segmen Mentawai secara intensif," sambungnya.
Umumnya gempa kuat dengan M lebih dari 8,0 hampir pasti dapat diamati gempa pembukanya.