KOMPAS.com - Dini hari tadi (5/2/2019), gempa tektonik berkekuatan M 5,6 mengguncang wilayah Kepulauan Batu pada pukul 2.29 WIB.
Kepulauan Batu merupakan wilayah kepulauan yang terletak di sebelah barat Pulau Sumatra, antara Pulau Nias dan Kepulauan Mentawai. Kepulauan Batu termasuk ke dalam daerah Kabupaten Nias Selatan, Provinsi Sumatra Utara.
Menurut catatan BMKG, episenter gempa terletak pada koordinat 0,38 LS dan 98,19 BT tepatnya di laut pada jarak 32 kilometer arah barat daya Pulau Telo pada kedalaman hiposnter 24 kilometer.
Melalui keterangan resmi Kepala Bidang Informasi Gempabumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG Dr. Daryono, gempa ini berjenis megathrust dangkal dengan mekanisme sumber sesar naik (thrust fault).
Baca juga: BMKG Rilis Jumlah Gempa Selama 2018, Begini Tanggapan Para Ahli
Dampak gempa berupa guncangan kuat dirasakan di Kepulauan Batu dalam skala intensitas III-IV MMI. Di Nias Selatan, Pasaman, Bukittinggi, dan Padang Panjang guncangan dirasakan dalam skala intensitas III MMI.
Sedangkan di Pariaman, Padang, dan Payakumbuh guncangan dirasakan dalam skala intensitas II MMI.
Beberapa warga di Pulau Batu dilaporkan sempat terbangun dari tidur, kemudian berlarian ke luar rumah akibat terkejut oleh kuatnya guncangan gempa.
Hingga saat ini belum ada laporan kerusakan, sementara hasil pemodelan menunjukkan tidak berpotensi tsunami.
Sampai Selasa siang, hasil monitoring BMKG menunjukkan sudah terjadi aktivitas gempa susulan (aftershock) sebanyak 7 kali.
Jika kita memperhatikan aktivitas kegempaan Kepulauan Batu dengan segmen megathrust Sumatra, tampak lokasi pusat gempa yang aktif tadi pagi terletak pada batas antara Segmen Mentawai yang belum lepas energinya dan segmen Nias yang sudah lepas energinya sebagai gempa M 8,7 pada tahun 2005.
Sementara, gempa Pagai berkekuatan M 6,1 yang terjadi pada Sabtu petang 2 Februari 2019 lalu juga terletak pada batas antara Segmen Mentawai yang belum lepas energinya dan Segmen Enggano yang sudah lepas energinya sebagai gempa M 8,4 pada 2007 dan gempa M 7,7 pada 2010.
Hingga Selasa siang ini gempa susulan yang terjadi di sebelah barat Pagai sudah mencapai sebanyak 116 kali.
Mengacu kepada peristiwa gempa terbaru di Pagai dan Kepulauan Batu di atas, Daryono mengamati aktivitas gempa hanya terjadi pada tepi ujung selatan dan utara dari Segmen Mentawai.
Lantas, apakah kedua aktivitas gempa tersebut merupakan gempa pembuka (foreshocks) di Segmen Mentawai?
Dalam keterangannya, Daryono mengaku tidak mudah untuk mengatakan sebuah aktivitas gempa disebut sebagai gempa pembuka atau bukan.
"Ada beberapa karakteristik gempa pembuka," kata Daryono. Setidaknya ada tiga karakteriktik gempa pembuka, antara lain:
1. Terjadi di zona dengan seismisitas rendah
Gempa pembuka biasa terjadi pada zona dengan seismisitas rendah atau secara statistik kegempaan memiliki nilai b-value rendah.
"Jika kita amati wilayah Mentawai memang memiliki tingkat aktivitas kegempaan yang relatif rendah," sambungnya.
2. Adanya migrasi titik hiposenter gempa yang cepat
Karateristik berikutnya adalah adanya migrasi titik hiposenter gempa yang semakin cepat menuju titik inisiasi lokasi estimasi gempa utama (mainshock).
Semakin mendekati waktu terjadinya gempa utama, maka aktivitas gempa pembukanya akan makin banyak.
3. Munculnya aktivitas gempa yang mirip
Ciri lain adalah munculnya aktivitas gempa-gempa yang mirip atau disebut sebagai repeaters.
Repeaters merupakan serangkaian gempa yang terus terjadi secara berulang-ulang di tempat yang relatif "sama" di suatu zona tertentu dekat lokasi yang diestimasi sebagai gempa utama.
Fenomena tersebut menggambarkan adanya proses pembebanan (loading) yang semakin lama semakin intensif sebelum gempa utama terjadi.
"Analoginya mirip kalau kita mau mematahkan sepotong kayu, secara perlahan-lahan ada retakan-retakan kecil di sekitarnya sebelum benar-benar patah," katanya berumpama.
Untuk kasus gempa di Kepulauan Mentawai, Daryono mengatakan bahwa meski nilai b-value cenderung rendah, tapi belum terlihat ada tanda-tanda atau karakteristik gempa pembuka seperti yang tersebut di atas.
"Kita harus terus melakukan monitoring aktivitas gempa di Segmen Mentawai secara intensif," sambungnya.
Umumnya gempa kuat dengan M lebih dari 8,0 hampir pasti dapat diamati gempa pembukanya.
Sebagai contoh adalah gempa Tohuku M 9.1 pada 2011, gempa Chili M 8,8 pada 2010, dan gempa Chili M 8,1 pada 2014. Beberapa gempa dahsyat ini memiliki aktivitas gempa pembuka yang teramati dengan jelas 3 bulan sebelumya.
Baca juga: Gempa Hari Ini: Lindu Susulan di Mentawai Capai 41 Kali
Imbauan untuk masyarakat dan pentingnya mitigasi
Terkait meningkatnya aktivitas kegempaan pada Segmen Mentawai dan sekitarnya akhir-akhir ini, masyarakat dihimbau untuk tetap tenang dan waspada, tidak perlu takut dan panik.
"Secara alamiah, gempa Mentawai suatu saat akan terjadi tapi entah kapan kita semua tidak tahu pastinya," ujarnya.
Di dalam ketidak pastian ini, seluruh lapisan masyarakat seyogyanya harus menyiapkan diri untuk terus meningkatkan upaya mitigasi.
"Bangunan rumah harus didisain kuat untuk menahan guncangan gempa," kata Daryono.
"Masyarakat juga harus mengerti bagaimana cara selamat saat terjadi gempa dan tsunami.
Evakuasi mandiri tsunami harus menjadi pemahaman alam bawah sadar bagi seluruh masyarakat pesisir dengan cara menjadikan gempa kuat sebagai peringatan dini tsunami.
"Sehingga jika kita merasakan guncangan gempa kuat di pantai, segeralah bergegas pergi menjauhi pantai," tutupnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.