KOMPAS.com - Hari ini hampir 50 tahun sejak Neil Armstrong menjadi manusia pertama yang menjejakkan kaki di bulan. "Langkah kecil bagi seorang manusia," kata astronot Amerika Serikat yang terkenal itu, "tapi lompatan besar bagi peradaban manusia."
Tak lama setelah itu, rekan sejawat Armstrong, Buzz Aldring bergabung untuk menjelajah permukaan bulan yang kerap disebut Sea of Tranquility (Laut Ketenangan).
Setelah turun dari anak tangga pesawat ulang alik Eagle, Aldrin menatap ke hamparan luas yang kosong dan berkata, "Kesunyian yang begitu indah."
Sejak misi Apollo 11 pada Juli 1969, bulan tetap belum terjamah seutuhnya. Tak ada lagi manusia yang datang ke bulan sejak 1972.
Baca juga: Sempat Berkecambah, Benih yang Dibawa China ke Bulan Mati
Namun situasi itu dapat segera berubah karena sejumlah perusahaan menyatakan ketertarikan mereka untuk mengeksplorasi, dan jika memungkinkan, menambang permukaan bulan untuk mencari emas, platina atau logam putih, serta sumber daya mineral lain yang makin langka di bumi, tapi vital bagi alat elektronik.
Awal Januari ini, China menerbangkan seperangkat modul bernama Chang'e-4 di bulan. Alat ini berhasil menumbuhkan benih bunga kapas dalam biosfer yang dibangunnya di permukaan bulan.
Chang'e-4 pun menganalisis peluang membangun pusat penelitian.
Sementara perusahaan luar angkasa asal Jepang, iSpace, berencana membangun platform transportasi antara bumi dan bulan. Mereka juga berwacana mengeksplorasi air dari bulan.
Intinya perkembangan terus dan diwacanakan untuk terjadi. Lantas, apakah ada peraturan untuk memastikan kesunyian yang disebut Aldrin tetap tak terjamah?
Pertanyaan lainnya, dapatkah satu-satunya satelit alami bumi itu berubah menjadi lahan komersial yang politis dan entitas yang dapat diakusisi?
Potensi kepemilikan benda astronomis telah menjadi perdebatan sejak penjelajahan luar angkasa dimulai pada era Perang Dingin.
Saat Badan Antariksa AS (NASA) misi penerbangan berawak pertama mereka, PBB menerbitkan perjanjian terkait luar angkasa yang diteken tahun 1967 oleh Uni Soviet, Inggris, termasuk AS.
Kesepakatan itu berbunyi, "Luar angkasa, termasuk bulan dan benda-benda antariksa lainnya, bukanlah subjek akuisisi atas dasar kedaulatan, atas dasar okupasi atau alasan lainnya."
Joanne Wheeler, direktur perusahaan luar angkasa Alden Advisers, menyebut perjanjian tersebut sebagai 'Magna Carta antariksa'. Magna Carta yang kerap disebut dokumen awal atas pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia, diterbitkan tahun 1215 di Inggris.
Kesepakatan tentang luar angkasa tadi membuat pengibaran bendera di bulan, seperti yang dilakukan Armstrong dan para astronot sesudahnya menjadi tak berarti.
Artinya, kata Wheeler, tak ada hak atas benda antariksa yang mengikat kepada orang per orang, perusahaan, atau negara.
Dalam terminologi praktis, isu kepemilikan lahan dan hak penambangan di bulan belum begitu masif pada tahun 1969. Namun seiring perkembangan teknologi, eksploitasi sumber daya bulan semakin mungkin dilakukan.
Tahun 1979, PBB membuat perjanjian terkait aktivitas negara di bulan dan benda antariksa lainnya—Kesepakatan Bulan. Dokumen itu menyatakan, benda luar angkasa harus digunakan untuk tujuan yang damai.
PBB pun harus mengetahui alasan dan titik pembangunan setiap stasiun luar angkasa.
Perjanjian itu juga menyatakan, "bulan dan sumber dayanya adalah warisan bersama untuk seluruh umat manusia." Tak hanya itu, sebuah badan internasional harus dibentuk untuk mengelola eksploitasi setiap sumber daya yang ada, jika proyek itu memungkinkan dilakukan.
Persoalannya, baru ada 11 negara yang meratifikasi perjanjian internasional itu, di antaranya Perancis dan India. Pelaku penjelajahan antariksa terbesar, yakni China, AS, dan Rusia belum meratifikasinya—termasuk Inggris.
Wheeler menilai tak mudah mendesak penerapan perjanjian tersebut. Setiap negara menerapkan setiap perjanjian yang mereka sepakati ke sistem hukum nasional dan wajib memastikan setiap penduduk dan badan hukum mematuhinya.
Prof Joanne Irene Gabrynowicz, mantan pimpinan Journal of Space Law, sependapat tentang perjanjian internasional yang tak menjamin apapun. Penegakan hukum, menurutnya, merupakan langkah kompleks yang melibatkan unsur politik, ekonomi, dan opini masyarakat.
Dan perjanjian internasional yang tidak mengakui kepemilikan benda antariksa oleh suatau negara kini menghadapi tantangan terbesarnya.
Tahun 2015, AS menerbitkan UU Persaingan Bisnis Luar Angkasa. Beleid itu mengakui kepemilikan warga mereka atas sumber daya asteroid yang berhasil diakuisisi.
Regulasi itu memang tidak berlaku untuk bulan, namun prinsip dasarnya barangkali akan diterapkan ke hal yang lebih besar.
Eric Anderson, pendiri perusahaan eksplorasi antariksa, Planetary Resources, mendeskripsikan undang-undang itu sebagai pengakuan hak atas properti terbesar sepanjang sejarah.
Tahun 2017, Luksemburg mengesahkan regulasi domestik yang mengakui hak setiap orang memiliki benda antariksa. Wakil perdana menteri negara itu, Etienne Schneider, menyebut beleid itu akan membuat negaranya sebagai pionir dan pemimpin di bidang ini.
Keingingan untuk mengeksplorasi dan mengeruk keuntungan dari luar angkasa terus bermunculan. Sejumlah negara pun sepertinya semakin menunjukkan niat mereka membantu korporasi antariksa.
Baca juga: Begini Panorama Sisi Jauh Bulan yang Diambil Wahana Antariksa China
"Penambangan, baik dengan tujuan membawa material yang ada ke bumi atau menyimpan dan mengembangkannya di bulan, sangat bertentangan dengan kewajiban tak merusak apapun di luar angkasa," kata Helen Ntabeni, pengacara di Naledi Space Law and Policy.
Ntabeni menilai AS dan Luksemburg bakal melanggar ketentuan yang diterbitkan PBB.
"Saya skeptis, standar moral tinggi bahwa setiap negara memiliki hak yang sama untuk mengeksplorasi luar angkasa akan bertahan," ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.