Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
The Conversation
Wartawan dan akademisi

Platform kolaborasi antara wartawan dan akademisi dalam menyebarluaskan analisis dan riset kepada khalayak luas.

Suka Ambil Selfie di Lokasi Bencana Pertanda Gangguan Kejiwaan

Kompas.com - 12/01/2019, 20:08 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Jung percaya bahwa di dalam setiap manusia, ada yang disebut sebagai bayangan (shadow) yang mewakili sisi manusia yang paling gelap. Dia berpendapat bahwa semakin kita menekan bayangan tersebut, semakin kuat bayangan tersebut dalam mempengaruhi perilaku kita.

Itulah sebabnya sulit bagi kita untuk menghindari godaan untuk tidak melihat penderitaan orang lain. Melihat kesengsaraan orang lain menjadi sulit untuk ditolak, karena tindakan tersebut memenuhi kepuasan diri untuk membiarkan si bayangan berkuasa, tanpa kita perlu melakukan kejahatan apa pun.

Saat kita melihat kesengsaraan orang lain, seorang filsuf terkenal dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyakarya Frankie Budi Hardiman mengatakan bahwa tindakan tersebut juga mengindikasikan bahwa kita sedang mencari informasi.

Tindakan ini didorong oleh “keinginan tak penting untuk tahu” dan keinginan tersebut bersifat asing, menghakimi, egosentris dan eksploitatif. Seorang pelaku menggunakan korban sebagai objek yang menghibur untuk memenuhi keinginan mereka.

Dalam kasus ini, melihat artinya tidak melakukan apa-apa atau bahkan sebuah tanda penolakan untuk turun campur. Tindakan ini dilakukan bukan untuk menolong ataupun memahami korban.

Sebenarnya, menakutkan ketika kita menyadari bahwa kebiasaan melihat penderitaan orang lain begitu mengakar di masyarakat kita. Hal tersebut juga menyiratkan bahwa kesedihan orang lain dianggap sebagai komoditas yang menghibur.

Praktik melihat penderitaan orang lain tanpa melakukan apa-apa pada akhirnya akan menjadi parah ketika kemudian orang-orang yang melihat itu mengambil selfie untuk mendokumentasikan kesengsaraan orang lain dan mendistribusikannya di media sosial.

Tindakan tersebut merupakan pertanda sebuah masalah moral yang serius, karena praktik mengambil selfie di lokasi bencana lebih jahat daripada menjadi pengamat saja. Kebiasaan tersebut merupakan gejala patologi sosial, yaitu hilangnya rasa empati.

Masalah keselamatan

Orang lain bisa berpendapat bahwa mengambil selfie pada lokasi bencana adalah hal yang bisa diterima. Mereka bisa berargumen bahwa foto-foto tersebut dibutuhkan sebagai bukti bahwa pembagian bantuan benar-benar dilaksanakan.

Saya bisa menerima alasan tersebut asal tindakan tersebut tidak dilakukan untuk kepentingan pribadi, seperti meningkatkan popularitas di media sosial.

Namun, terlepas dari masalah kesehatan mental, mengambil selfie di lokasi bencana juga berbahaya dan bisa mengancam jiwa.

Misalnya sewaktu proses evakuasi saat terjadi kebakaran hutan, orang-orang yang penasaran dan ingin mengambil selfie dapat membahayakan keselamatan mereka. Tindakan mereka juga dapat menghambat proses evakuasi.

Fokus pada korban

Salah satu solusi untuk mengendalikan kebiasaan ambil selfie di lokasi bencana adalah dengan mencoba menempatkan diri kita pada posisi korban. Apakah Anda suka jika ada orang asing berpose untuk sebuah foto sementara Anda menderita? Saya yakin tidak ada manusia yang ingin diperlakukan seperti itu.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau