Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Prihadi Murdiyat
Dosen Politeknik Negeri Samarinda serta Peneliti WSN dan pemanfaatannya

Dr. Ir. Prihadi Murdiyat, MT adalah dosen Jurusan Teknik Elektro dan juga dosen Jurusan Teknologi Informasi di Politeknik Negeri Samarinda. Prihadi juga peneliti Wireless Sensor Network (WSN) dan pemanfaatannya. Lulusan Curtin University, Perth, Western Australia, PhD on Electrical and Computer Engineering; Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, Magister Teknik, Teknik Elektro; dan Universitas Brawijaya Malang, Sarjana Teknik, Teknik Elektro.

Menimbang Underwater Wireless Sensor Network, Sistem Peringatan Dini untuk Tsunami

Kompas.com - 28/12/2018, 18:57 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BELUM lama pikiran kita tertuju pada tsunami yang terjadi Palu, yang saat ini daerahnya masih dalam proses pemulihan, tsunami berikutnya telah terjadi di Selat Sunda. 

Bencana yang berdampak pada beberapa wilayah di Lampung dan Banten ini juga memakan korban yang cukup besar. Dalam informasi terakhir yang disampaikan oleh Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho, korban luka tercatat sebanyak lebih dari 600 orang, meninggal lebih dari 200 orang, belum lagi korban hilang.

Bencana yang kemungkinan disebabkan oleh kegiatan vulkanis Anak Krakatau ini, tampaknya kurang diwaspadai oleh masyarakat di sekitarnya. Hal ini berbeda dengan tsunami di Sulawesi Tengah yang didahului oleh dua gempa bumi dengan magnitudo 6 dan 7.4.

Guncangan gempa yang cukup kuat itu membuat masyarakat yang tinggal di pantai waspada dan sempat menyingkir ke tempat-tempat yang tinggi. Sehingga menghindarkan jumlah korban yang lebih besar, yang sebelumnya sudah cukup banyak akibat gempa bumi.

Namun tidak demikian halnya dengan tsunami di Selat Sunda. Aktivitas gunung berapi Anak Krakatau yang terjadi sebelumnya tampaknya tak dirasa, sehingga tak banyak masyarakat mengetahui bahwa gulungan ombak besar telah melaju dengan kecepatan tinggi menuju ke pantai-pantai di Lampung dan Banten.

Baca juga: Memprediksi Tanah Longsor dengan Wireless Sensor Network

Video yang menampilkan serangan tsunami di saat sebuah band sedang beraksi di panggung menunjukkan bahwa masyarakat tidak menduga datangnya bencana secara tiba-tiba. Akibatnya fatal, ratusan orang menjadi korban.

Bencana alam adalah kehendak Tuhan dan pasti akan terjadi. Namun tanda-tanda alam umumnya telah terlihat sebelum bencana terjadi.

Sebelum tsunami di selat Sunda misalnya, seorang saksi sempat melihat surutnya air laut di belakang Hotel Marina Anyer pada jam 19.00 (Kompas.com 23/12/2018). Ini adalah salah satu indikasi umum munculnya tsunami sebagaimana yang sering disampaikan para ahli.

Sayangnya, selain pengamatan dari saksi yang bersangkutan, tak tampak sistem yang mengetahui tanda-tanda alam ini. Sangat berbeda dengan kasus tsunami Palu, di mana sistem peringatan dini yang tidak berfungsi menjadi salah satu isu.

Dari berbagai berita tentang tsunami di Palu, informasi yang disampaikan oleh BNPB adalah: 22 buah buoy yang merupakan salah satu penghasil data masukan peringatan dini sudah tidak berfungsi sejak 2012. Informasi ini merupakan pengulangan informasi sebelumnya yang pernah disampaikan oleh Sutopo Purwo Nugroho (Kompas.com, 16/12/2017).

Hal ini tidak ditampik oleh ketua BMKG Dwikorita Karnawati yang menyatakan bahwa pemerintah, khususnya BMKG, memang tidak menggunakan lagi 22 buah buoy tersebut sejak tahun 2008.

Namun sistem peringatan dini yang ada dianggap memadai karena menggunakan pemodelan komputer yang data masukannya diambil dari ratusan sensor gempa yang dipasang di berbagai wilayah Indonesia.

Dengan menggunakan sensor gempa yang terdiri dari seismograf (mengukur besarnya gempa), GPS (mengukur lokasi gempa), dan tide gauge (mengukur ketinggian air laut), data masukan saat terjadi gempa langsung dikirim ke BMKG untuk dilakukan pemodelan matematik dengan menggunakan komputer.

Baca juga: Wireless Sensor Network untuk Peringatan Dini dan Aplikasi Lebih Luas

 

Hasilnya dapat diperoleh dalam waktu 2 menit. Peringatan baru disampaikan pada masyarakat, setelah hasil dari komputer ditelaah oleh pakar selama 5 menit. Menurut ketua BMKG cara ini juga dilakukan saat terjadi gempa di Donggala dan Palu (Detik.com 06/10/2018).

Namun, seperti pernah disampaikan beberapa ahli termasuk Louise Comfort, seorang ahli manajemen bencana dari University of Pittsburgh di Amerika, efektivitas sensor gempa ini dianggap kurang karena tidak mampu mengukur perubahan yang terjadi di dasar laut.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau