DATANGNYA musim hujan selalu membawa kegembiraan bagi petani dan masyarakat yang tinggal di daerah-daerah sulit air. Tetapi, datangnya musim hujan juga membawa kekhawatiran. Hujan yang turun dengan deras dapat menimbulkan bencana banjir dan tanah longsor.
Berbeda dengan bencana banjir yang biasanya dapat diperkirakan dengan mengamati ketinggian sungai dari waktu ke waktu, bencana tanah longsor seringkali terjadi tiba-tiba. Umumnya masyarakat tidak siap mengindari bahaya longsor, sehingga beberapa bencana tanah longsor di Indonesia selalu memakan korban.
Dengan jumlah bencana yang menurut BNPB bahkan telah mencapai 438 kejadian di awal tahun 2018, usaha-usaha untuk menghindarkan masyarakat dari bahaya bencana longsor mestinya harus dilakukan. Bila perlu, terjadinya tanah longsor harus dicegah.
Pencegahan terjadinya bencana tanah longsor atau pencegahan jatuhnya korban sebenarnya sangat dimungkinkan. Alasannya, peta-peta daerah rawan longsor telah dibuat oleh BNPB dan BPBD.
Baca juga: Kisah Yaya Selamatkan Istri dan Anaknya yang Terperangkap Longsor
Apalagi, berbagai penelitian yang mempelajari kemungkinan terjadinya longsor, serta pengamatan tempat kejadian setelah terjadinya bencana, yang dilakukan oleh berbagai pihak termasuk perguruan tinggi, dapat menjelaskan secara detail tentang penyebab terjadinya bencana.
Penjelasan dari berbagai penelitian dan pengamatan umumnya menyimpulkan bahwa longsor terjadi karena kondisi topologi, geologi, cuaca, dan aktifitas masyarakat di daerah potensi atau terdampak bencana.
Maka, terjadinya bencana atau jatuhnya korban dapat dicegah dengan melakukan usaha-usaha seperti penyuluhan pada masyarakat agar tidak melakukan aktivitas yang dapat menyebabkan terjadinya tanah longsor.
Sementara itu, pengamatan terhadap kondisi topologi, geologi, dan cuaca juga perlu dilakukan secara terus-menerus dan dari waktu ke waktu untuk mengukur resiko terjadinya tanah longsor.
Menempatkan seorang atau beberapa orang operator pada daerah rawan bencana untuk mengamati kondisi lingkungan secara terus-menerus tentulah tidak praktis.
Pekerjaan tersebut akan cukup melelahkan dan membutuhkan biaya operasional yang sangat besar, apalagi jika mengingat bahwa jumlah daerah rawan bencana longsor yang ada di Indonesia sangatlah banyak.
Sebagai solusinya, tugas-tugas monitoring dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi wireless sensor network (WSN), yang saat ini sudah banyak dikembangkan dan digunakan di berbagai negara.
Teknologi ini menjanjikan beberapa kelebihan yang tidak dapat dipenuhi oleh pengamatan manual oleh manusia, di antaranya adalah monitoring terus-menerus dari waktu ke waktu, cakupan area pengamatan yang luas, dan biaya yang murah.
Selain itu, karena operator (manusia) hanya bertugas memasang dan sesekali melakukan perawatan, maka biaya operasionalnya pun jauh lebih kecil.
Baca juga: Tanah Longsor di Depok, Satu Bangunan Ambles
Untuk melakukan tugasnya, sebuah jaringan WSN sedikitnya dilengkapi dengan sejumlah sensor node (SN), sebuah base station (BS), serta sebuah control station (CS). Pada aplikasi pengamatan dan peringatan dini bahaya longsor, SN diletakkan di tempat-tempat yang mempunyai potensi bahaya longsor cukup besar.
Sebuah unit BS juga diletakkan pada lokasi yang sama namun pada tempat yang cukup aman dari bahaya longsor. Sementara itu, CS berada di kantor pusat pengamatan yang umumnya terletak di kota.