KOMPAS.com - Sabtu (22/12/2018) menghantam wilayah Banten dan Lampung secara tiba-tiba. Sekitar 250 orang meninggal.
Tsunami tersebut diduga dipicu oleh runtuhan badan Gunung Anak Krakatau. Berbeda dengan tsunami yang didahului oleh gempa bumi, gelombang tinggi Sabtu malam kemarin datang tanpa peringatan dini.
Ini memunculkan pertanyaan, bisakah tsunami semacam ini memiliki early warning system (EWS) atau sistem peringatan dini?
Hamzah Latief, ahli tsunami dari Institut Teknologi Bandung (ITB) mengatakan bahwa EWS untuk tsunami akibat aktivitas gunung api sangat mungkin dibuat.
Pendapat senada juga diungkapkan oleh Widjo Kongko, ahli tsunami dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Widjo menyebut sistem peringatan dini untuk tsunami tanpa gempa semacam ini bisa menggunakan sensor yang ditempatkan di laut.
Baca juga: Akhirnya Didapatkan, Skenario Terkuat Tsunami Selat Sunda dan Dasarnya
Hamzah mengatakan bahwa cara ini justru lebih mudah dibanding sistem peringatan dini untuk tsunami akibat gempa bumi.
"Malah lebih gampang kalau early warning system-nya ini mau kita buat, karena sudah jelas sumbernya," ungkap Hamzah ketika dihubungi Kompas.com, Senin (24/12/2018).
Menurut Hamzah, sistem peringatan dini tsunami akibat gempa saat ini harus menempatkan sensor di sepanjang pesisir Indonesia. Alat yang diperlukan pun lebih beragam.
"Kalau ini kan, PVMBG sudah punya seismograf dan alat pemantauan Anak Krakatau. Tinggal kita tambahkan aja sensor buoy atau alat untuk melihat anomali permukaan laut di sekitar Anak Krakatau udah bisa jadi early warning system," kata Hamzah.
Widjo juga sependapat dengan Hamzah. Penggunaan sensor di laut bisa menjadi cara mudah untuk membuat sistem peringatan dini tsunami yang bersumber dari gunung api.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.