KOMPAS.com – Sindrom patah hati, atau yang bernama ilmiah sindrom takotsubo, adalah kondisi di mana ventrikel jantung kiri membesar dan melemah sehingga jantung tidak dapat memompa darah dengan normal.
Kondisi ini sering dipicu oleh tekanan emosional, seperti kematian seseorang dicintai. Meski demikian, ada juga yang dipicu oleh kondisi fisik, seperti serangan asma. Meski dapat pulih dengan sendirinya, tetapi orang dengan sindrom patah hati membutuhkan perhatian medis secepat mungkin.
Terlebih lagi, sebuah studi yang dilakukan Rumah Sakit Universitas Zurich di Swiss menyatakan bahwa angka risiko kematian bagi pasien sindrom patah hati dengan komplikasi syok kardiogenik terhitung tinggi, bahkan setelah bertahun-tahun dinyatakan sembuh.
Setidaknya, hampir 24 persen pasien di rumah sakit dengan komplikasi syok kardiogenik meninggal dunia, dibandingkan dengan hanya 2 persen pasien sindrom patah hati tanpa syok kardiogenik.
Baca juga: Anjingnya Mati, Seorang Wanita Alami Sindrom Patah Hati dan Masuk UGD
Bahkan, lima tahun pasca dinyatakan sembuh, tingkat kematian pasien dengan sindrom patah hati dengan syok kardiogenetik sekitar 40 persen, dibandingkan dengan 10 persen untuk pasien yang tidak mengalami syok kardiogenik.
"Di luar tingginya kematian jangka pendek akibat sindrom ini, untuk pertama kalinya analisis ini menemukan orang-orang yang mengalami sindrom patah hati dengan komplikasi syok kardiogenik berisiko tinggi untuk meninggal beberapa tahun kemudian," ujar Christian Templin yang temuannya akan diterbitkan dalam jurnal Circulation.
"Ini menunjukkan pentingnya pantauan jangka panjang terutama pada pasien sindrom ini," ujarnya lagi.
Pada dasarnya, gejala sindrom patah hati menyerupai dengan serangan jantung seperti nyeri dada dan sesak napas. Bedanya, pada sindrom patah hati tidak ada penyumbatan pembuluh darah jantung, dan biasanya pasien dinyatakan sembuh total dalam beberapa hari hingga beberapa minggu setelah perawatan.
Sialnya, menurut penelitian terbaru, sekitar 1 dari 10 pasien dengan sindrom patah hati mengalami komplikasi syok kardiogenik. komplikasi ini mengancam nyawa pasiennya karena jantung mereka secara tiba-tiba tidak dapat memompa cukup darah untuk memenuhi kebutuhan tubuh.
Baca juga: Mati karena Patah Hati Itu Nyata, Sains Membuktikannya
Pasien dengan syok kardiogenik juga cenderung memiliki tipe detak jantung tidak teratur yang disebut fibrilasi atrial, memiliki tingkat kemungkinan diabetes yang lebih tinggi, dan menderita faktor risiko lain untuk penyakit jantung.
"Untuk itu, pemantauan ketat bisa mengungkapkan tanda-tanda awal syok kardiogenik dan memungkinkan penanganan yang cepat," kata Templin seperti yang diberitakan Live Science pada Senin (05/11/2018).
Studi ini juga menemukan bahwa pasien dengan syok kardiogenik memiliki harapan hidup yang lebih tinggi jika dirawat dengan perangkat yang memberikan dukungan mekanis ke jantung, seperti alat yang membantu meningkatkan dorongan pada aliran darah.
"Meskipun perangkat ini harus digunakan dengan hati-hati, itu bisa dianggap sebagai jembatan untuk pemulihan pada pasien tanpa kontraindikasi," kata Templin.
Kedepannya, Templin dan tim penelitinya akan melakukan studi masa depan untuk menemukan perawatan terbaik untuk pasien sindrom patah hati dengan komplikasi syok kardiogenik, baik dalam jangka pendek mau pun panjang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.