KOMPAS.com -- Patah hati akibat berakhirnya sebuah hubungan mungkin dapat dibantu dengan sedikit puisi puitis nan klasik dari pujangga. Lagu cinta juga tak kalah hebat sebagai teman untuk mengenang masa-masa indah bersama si dia.
Namun, alih-alih mendukung kegiatan-kegiatan itu, seorang neuropsikolog klinis menganjurkan latihan otak sebagai cara untuk move on dari kenangan si dia.
Barbara Sahakian, seorang profesor neuropsikologi klinis di Cambridge University, menjelajahi kemampuan tes otak yang sudah terkomputerisasi untuk memperkuat kontrol pada seseorang.
Dengan mengikuti instruksi untuk mengerjakan berbagai macam tugas sederhana dan berhenti ketika mendengar peringatan dari komputer, latihan ini dilakukan untuk mencegah seseorang dalam membuat keputusan yang akan disesali di kemudian hari.
Sejauh ini, ekperimen Sahakian hanya berfokus untuk mengurangi sikap impulsif pada orang-orang dengan gangguan kesehatan mental. Namun, dengan melatih bagian otak yang disebut prefrontal korteks, aplikasi latihan otak mungkin dapat membantu manusia yang sedang mabuk kepayang untuk lebih mengontrol dirinya sendiri.
“Lobus frontal berfungsi untuk mengontrol tindakan Anda dalam banyak situasi berbeda, baik saat mengerjakan latihan otak atau pun sedang merenungkan cinta yang hilang,” kata Sahakian, yang pernah menulis buku berjudul Sex, Lies, and Brain Scan.
Dia melanjutkan, latihan Ini seperti melatih otot dan mungkin akan membantu menghentikan seseorang yang patah hati agar tidak mengirim pesan secara berulang-ulang kepada mantannya. Otak sebenarnya sudah memiliki alat untuk menghentikan tindakan ini, yang diperlukan hanya latihan saja.
Jika pendekatan Sahakian berhasil, maka pengendalian impuls akan bisa dilatih layaknya melatih kekuatan fisik di pusat kebugaran. Namun, latihan otak ini membutuhkan komitmen yang cukup besar agar terasa efeknya. Seseorang yang baru saja mengakhiri hubungan bisa jadi membutuhkan latihan otak selama delapan jam dalam satu bulan untuk mengendalikan impuls mereka.
Namun, selagi menunggu pembuktian Sahakian, si patah hati bisa beralih ke temuan psikologi lainnya.
Pada tahun 2012, Naomi Eisenberger, seorang psikolog di University of California di Los Angeles, menemukan bukti bahwa menenggak parasetamol dapat mengurangi rasa sakit karena patah hati. Obat itu bisa efektif karena sensasi yang datang dari patah hati diduga menumpangi sirkuit otak yang memproduksi rasa sakit fisik.
Namun, penelitian lainnya seperti yang dilakukan oleh Ohio State University telah mempertanyakan manfaat dari penggunaan parasetamol dalam menangani efek patah hati.
Dalam hasil studi yang dipublikasikan melalui jurnal Psychological Science tersebut, para peneliti menemukan bahwa parasetamol tidak hanya mengurangi penderitaan emosional saja, tetapi juga semua respons emosional. Secara keseluruhan, obat ini memiliki efek yang negatif terhadap emosi manusia karena perasaan bahagia juga ikut ditekan.
Walter Mischel, seorang psikolog Amerika, juga menganjurkan penderita patah hati untuk tidak merenungkan perpisahan. Merenungi hubungan yang rusak, kata dia, sering kali membuat rasa sakit yang dialami bertambah buruk.
Sebaliknya, penulis buku pengendalian diri berjudul The Marshmallow Test itu menyarankan penderita patah hati untuk mengambil dua aspirin sebagai cara menghilangkan rasa sakit, kemudian menjauhkan diri dari peristiwa itu untuk memperbaiki perspektif.
Dalam hal ini, Sahakian setuju. "Hal terburuk yang bisa dilakukan seseorang setelah patah hati adalah tinggal di rumah sendirian sambil merenungkan siklus pikiran yang sama tentang kenangan indah dari hubungan mereka," katanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.