Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Flu 1918, Membunuh Satu Generasi dan Ubah Dunia Abad Ke-20

Kompas.com - 31/10/2018, 11:00 WIB
Gloria Setyvani Putri

Editor

Dengan logika yang sama, kaum lansia relatif terlindung pada 1918 karena sudah pernah terpapar antigen H1atau N1 yang menjangkiti populasi manusia pada 1830.

 

Tingkat kematian sangat berbeda di seluruh dunia

Flu kadang disebut sebagai penyakit demokratis, namun pada 1918 tidak sama sekali. Jika Anda hidup di kawasan Asia, misalnya, kemungkinan Anda meninggal dunia akibat flu 30 kali lebih tinggi dibandingkan jika Anda bermukim di daerah tertentu di Eropa.

Pada 1918, Asia dan Afrika adalah dua kawasan yang punya tingkat kematian akibat flu tertinggi di dunia. Sedangkan Eropa, Amerika Utara, dan Australia termasuk yang terendah.

Meski demikian, ada perbedaan mencolok di benua masing-masing. Denmark, misalnya, kehilangan 0,4% populasinya, sementara Hungaria kehilangan rakyatnya tiga kali lipat dari jumlah itu. Penduduk di kota juga cenderung lebih menderita ketimbang warga pedesaan, tapi ada pula perbedaan di dalam setiap kota.

Ketidakseimbangan angka-angka ini tidak dapat dipastikan oleh orang-orang pada zaman itu. Baru berpuluh tahun kemudian, para ahli statistik dapat menjabarkannya.

Dari hasil penjabaran itu, mereka menyadari bahwa perbedaan tingkat kematian akibat wabah flu 1918 dapat dijelaskan melalui perbedaan antara penduduk dalam konteks sosio-ekonomi.

Ambil contoh di negara bagian Connecticut, Amerika Serikat, kelompok imigran terbaru dari Italia adalah yang paling menderita. Kemudian di Rio de Janeiro, yang saat itu merupakan ibu kota Brasil, kaum papa yang bermukim di kawasan kumuh adalah yang paling parah terpapar.

Kota Paris menjadi kasus paling pelik. Tingkat kematian di kawasan paling elite justru yang tertinggi. Teka-teki ini baru dipecahkan para ahli statistik ketika mereka menyadari yang meninggal di kawasan tersebut bukanlah pemilik apartemen mewah, melainkan para pembantu rumah tangga di kamar loteng nan dingin.

Di seluruh dunia, kaum miskin, imigran, dan etnik minoritas paling rentan terpapar wabah flu 1918. Ini bukan karena mereka lebih inferior sebagaimana sering diklaim penyokong prinsip kemurnian keturunan—melainkan karena mereka amat mungkin menyantap makanan rendah gizi, bermukim di kawasan kumuh, dan kurang mendapat akses ke layanan kesehatan.

Penjelasan itu ternyata masih relevan dengan kondisi saat ini. Sebuah kajian mengenai wabah flu di Inggris pada 2009 menunjukkan tingkat kematian di antara penduduk termiskin mencapai tiga kali lipat dibanding kaum berpunya.

Bukan sekadar penyakit saluran pernapasan

Sebagian besar yang jatuh sakit saat flu mewabah pada 1918 dapat pulih kembali, namun mereka yang masuk golongan minoritas tidak bisa lolos dari kematian.

Ketika flu mulai menjangkiti tubuh, mereka mulai kesulitan bernapas dan wajah mereka berubah menjadi seperti warna kayu mahoni. Selanjutnya warna kayu mahoni itu akan bertambah gelap menjadi kebiruan yang dalam istilah kedokteran disebut heliotrope cyanosis.

Saat nyawa mereka tak bisa tertolong, tubuh mereka akan menjadi hitam legam.

Penyebab kematian dalam hampir semua kasus adalah bukan flu itu sendiri, tapi bakteri oportunis yang menyerbu lecet pada paru yang sudah diciptakan oleh virus flu. Akibatnya timbul gejala paru-paru basah.

Hal itu relatif sudah banyak diketahui. Yang jarang diketahui adalah flu menambah kompleks penyakit tersebut. Gigi tanggal dan rambut rontok. Beberapa pasien melaporkan pusing, insomnia, kehilangan pendengaran, daya penciuman menurun, dan penglihatan kabur.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau