KOMPAS.com - Konsumsi yang tak terkendali berdampak besar pada kehancuran satwa liar secara global. Disadari atau tidak, upaya untuk memenuhi kerakusan manusia justru memicu kepunahan massal dan berkurangnya sumber daya alam.
World Wide Fund for Nature (WWF) memperingatkan, populasi vertebrata atau hewan bertulang belakang seperti ikan, burung, amfibi, reptil, dan mamalia mengamali penurunan sampai 60 persen sejak 1970 sampai 2014.
Laporan "Living Planet" yang disampaikan WWF hari ini telah menganalisis sekitar 4.000 spesies yang tersebar di 16.700 tempat di seluruh dunia.
"Situasi ini benar-benar buruk dan terus memburuk," kata Direktur Jenderal WWF Internasional Marco Lambertini kepada AFP, dilansir Selasa (30/10/2018).
"Satu-satunya kabar baik adalah kita tahu bagaimana kondisi dan fakta apa yang terjadi".
Baca juga: Jerat Tak Cuma Ancam Harimau, Bisa Musnahkan Semua Satwa di Sumatera
Selama 44 tahun terakhir, populasi dengan angka penurunan paling parah adalah satwa air tawar. Dalam hal ini, Amerika Latin adalah negara yang kehilangan satwa liar paling parah.
WWF menyampaikan, tingkat kehilangan spesies saat ini 100 hingga 1.000 kali lebih tinggi dibanding beberapa ratus tahun lalu, ketika manusia mulai mengubah kimia Bumi dan membuat makhluk hidup lain hilang.
Diukur berdasarkan berat badan atau biomassa, hewan liar saat ini hanya ada sekitar empat persen, manusia 36 persen, dan sisanya hewan ternak, 60 persen.
Sepuluh ribu tahun lalu, rasio ini mungkin terbalik.
"Statistik itu menakutkan," kata Piero Visconti, seorang peneliti dari Institut Internasional untuk Analisis Sistem Terapan di Austria dan salah satu dari 59 penulis laporan tersebut.
"Tidak seperti penurunan populasi, kepunahan tidak dapat diubah. Untuk (terumbu) karang, mungkin sekarang sudah terlambat," katanya.
Salah satu penyebab matinya separuh terumbu karang dangkal di dunia adalah gelombang panas laut.
Meski manusia bisa membatasi pemanasan global pada 1,5 derajat Celsius, 70 hingga 90 persen kematian karang diyakini tetap akan terjadi.
Laporan utama PBB yang disampaikan bulan lalu mengungkap, ambang batas dunia adalah 2 derajat Celsius.
Upaya konservasi setengah abad telah mencetak keberhasilan yang spektakuler, dengan pemulihan yang signifikan pada harimau, manate, beruang grizzly, tuna sirip biru, dan elang botak.
"Jika kami tidak melakukan upaya itu, situasinya akan jauh lebih buruk," kata Lambertini.
Tapi serangan perburuan, menyusutnya habitat, polusi, perdagangan ilegal dan perubahan iklim yang semuanya dilakukan manusia sulit diatasi.
"Ini adalah pertumbuhan eksponensial selama 50 tahun terakhir dalam penggunaan energi, air, kayu, ikan, makanan, pupuk, pestisida, mineral, plastik. Semuanya".
Baca juga: Segera Terungkap, Alasan Hiu Raksasa Megalodon Bisa Punah
Para ahli menyarankan, semua manusia harus sadar betul dampak dari perubahan iklim. Inilah kesepakatan baru kita dengan alam.
"Salah satunya kesadaran bahwa perubahan iklim berbahaya bagi manusia dan perekonomian, tak hanya beruang kutub tapi semua," kata Lambertini.
Selain itu, apa yang telah diperbuat alam untuk manusia bukanlah sesuatu yang gratis. Jika diuangkan mungkin kita harus mengeluarkan puluhan triliun dolar setiap tahunnya.
Mulai dari air minum, udara untuk bernapas, laut yang menyerap panas, hutan yang menyerap CO2, juga tanah produktif.
"Masa depan yang sehat dan berkelanjutan akan terjadi hanya bila alam tumbuh subur dengan semua isinya, hutan, laut, dan sungai yang dipenuhi keanekaragaman hayati dan kehidupan," jelas Lambertini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.