Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
The Conversation
Wartawan dan akademisi

Platform kolaborasi antara wartawan dan akademisi dalam menyebarluaskan analisis dan riset kepada khalayak luas.

Krisis Kredibilitas Sains, Banyak Penelitian Tak Dapat Dipercaya

Kompas.com - 20/10/2018, 11:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Transparansi dan konflik kepentingan

Nilai informasi dari penelitian hanya dapat dipastikan melalui proses replikasi. Ketika peneliti lain tak mendapatkan hasil yang konsisten, maka klaim sebelumnya tentu meragukan. Desain penelitian seperti telaah sistematis (systematic review) dan meta-analisis juga dapat digunakan untuk memastikan apakah temuan berbagai penelitian atas suatu gejala konsisten dan dapat dipercaya.

Kenyataannya, berbagai penelitian meta-analisis memberikan bukti bahwa kebanyakan penelitian memberikan informasi yang menyesatkan.

John Ioannidis mengatakan semakin suatu disiplin ilmu dianggap seksi dan dekat dengan kepentingan industri, maka kemungkinan besar mayoritas studi yang dilakukan dalam disiplin ilmu tersebut adalah false positive.

Baca juga: Bagaimanakah Cara Orang Buta Bermimpi? Penelitian Mengungkapnya

Contohnya, tak sulit kita menemukan penelitian yang mengaitkan kemungkinan akan semakin maraknya peredaran rokok ilegal bila cukai tembakau dinaikkan drastis. Penelitian ini sering digunakan oleh industri rokok sebagai dasar argumentasi mereka untuk menolak kebijakan kenaikan cukai.

Setelah dilakukan penelitian telaah sistematis, hasil riset mereka cenderung membesar-besarkan skala pasar rokok ilegal. Seolah-olah besar, padahal kenyataannya kecil sekali. Diduga temuan penelitian anti-kenaikan cukai rokok ini sangat didikte oleh kepentingan industri rokok, karena mereka yang mensponsori penelitian-penelitian tersebut. Padahal sejumlah riset telah membuktikan menaikkan cukai rokok adalah salah satu instrumen untuk menurunkan prevalensi konsumsi rokok.

Lalu bagaimana?

Sains saat ini stagnan, karena peneliti menolak untuk terbuka. Sayangnya, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi terlalu memfokuskan kebijakannya untuk menggenjot kuantitas publikasi ilmiah, tapi menutup mata atas gejala degradasi kualitas penelitian dan integritas penelitinya.

Meski jumlah publikasi ilmiah peneliti Indonesia diklaim menyalip Singapura, nyatanya artikel ilmiah peneliti Indonesia lebih banyak diterbitkan di prosiding, yaitu kumpulan naskah ilmiah yang dipresentasikan dalam suatu konferensi atau temu ilmiah, yang proses telaahnya umumnya dilakukan secara asal-asalan.

Baca juga: Mengenal Efek Plasebo yang Sering Disebut pada Cuci Otak Terawan

Untuk mengembalikan kredibilitas sains, maka peneliti harus terbuka–mulai dari asumsi awal, prosedur pengambilan dan analisis data, data mentah, sampai pada kemungkinan adanya konflik kepentingan. Hal ini dapat dilakukan salah satunya dengan pre-registrasi.

Sejatinya, saat ini sudah banyak portal daring yang dapat dimanfaatkan peneliti sebagai etalase pre-registrasi, data mentah dan material studinya, seperti Open Science Framework. Maka agar kerja sains menjadi progresif dan bermakna, tak ada jalan keluar lain–peneliti harus terbuka, atau tertinggal.

Tak salah bila ada yang menganalogikan, “Politikus boleh saja berbohong, karena ia harus selalu benar. Peneliti boleh saja salah, tapi ia tak boleh berbohong.” Saya setuju bahwa kualitas suatu penelitian terletak pada integritas dan standar moral penelitinya.

*Pengajar Psikologi Personal dan Sosial, Universitas Airlangga

Artikel ini pertama kali terbit di The Conversation

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com