Mereka meminta para responden mahasiswa untuk menonton tiga film dokumenter. FIlm pertama menceritakan tentang penyembelihan sapi, kedua tentang seekor monyet yang dipukul kepalanya kemudian otaknya dimakan, ketiga tentang operasi wajah.
Sekitar 90 persen responden langsung berhenti menonton meski film belum rampung diputar. Sebagian besar berpendapat bahwa lebih baik mengeluarkan uang untuk menonton film horor dibanding film dokumenter tersebut.
Lima tahun setelah penelitian itu, McCauley akhirnya menemukan alasan mengapa mahasiswa yang terlibat dalam studi sebelumnya lebih memilih menonton film horor.
Menurut dia, itu karena film horor merupakan cerita fiksi yang dapat memberi kontrol bagi penontonnya. Maksudnya, saat menonton film horor kita tahu bahwa hal tersebut adalah fiktif dan hanya seperti menakut-nakuti.
Baca juga: Surat Tahanan Auschwitz Ungkap Horor Pembunuhan Yahudi oleh Nazi
4. Berhubungan dengan karakteristik disposisional
Dalam penelitian Deirdre Johnston yang terbit pada 1995 di Human Communication Research, ia menemukan bahwa ada empat motivasi yang membuat banyak remaja suka menonton film horor atau film menyeramkan.
Keempat motivasi itu dihubungkan dengan karakteristik disposisional seperti ketakutan, empati, dan mencari sensasi.
"Saya menemukan empat motivasi yang berkaitan dengan respons kognitif dan afektif penonton saat menonton film horor, serta kecenderungan pemirsa untuk mengidentifikasi pelaku atau korban dalam film tersebut," katanya.
Empat motivasi yang dimaksud Johnston adalah:
a. Pengamat darah kental, biasanya memiliki empati rendah dan menikmati sensasi yang tinggi. Untuk pria, hal ini berkaitan erat dengan pembunuh.
b. Pengamat sensasi, biasanya memiliki empati dan penikmat sensasi yang tinggi. Johnston mengidentifikasi kelompok ini menyukai ketegangan film.
c. Pengamat independen, biasanya memilih empati yang tinggi untuk korban dengan efek positif untuk mengatasi rasa takut.
d. Pengamat masalah, biasanya memiliki empati tinggi untuk korban tapi dicirikan oleh efek negatif seperti rasa tidak berdaya.
Sebuah artikel yang sangat bagus tentang psikologi film menakutkan oleh John Hess di situs web Filmmaker IQ menyatakan ada banyak teori tentang mengapa kita suka menonton film horor.
5. Teori katarsis
Teori yang dibuat oleh psikoanalisa Sigmund Freud ini menyebut bahwa emosi yang tertahan bisa menyebabkan ledakan emosi berlebihan, maka dari itu dibutuhkan sebuah penyaluran atas emosi tersebut.
Dalam hal ini, film horor atau film yang menyeramkan bisa jadi sarana untuk menyalurkan agresi tersebut.
Baca juga: Siap-siap Merinding, Kecerdasan Buatan Sudah Bisa Menulis Cerita Horor
Pada dasarnya, semua teori itu mungkin tidak bisa menjadi patokan untuk menyeragamkan alasan kita menonton film horor. Setiap orang memiliki alasan berbeda.
Pada akhirnya kembali lagi bahwa film horor adalah hiburan menyenangkan dan menegangkan, tanpa kita memahami sepenuhnya alasan di balik menonton film tersebut.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.