Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jangan Ditanya Lagi, BMKG Tidak Bisa Prediksi Gempa

Kompas.com - 12/10/2018, 11:44 WIB
Yunanto Wiji Utomo

Penulis

Hasilnya hingga kini tak memuaskan. Mereka belum bisa menentukan kapan pastinya, atau bahkan range-nya, sesar San Andreas akan marah.

Meski kita gempa tak bisa memprediksi, ada berita baiknya.

Peneliti gempa dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Mudrik Rahmawan Daryono, mengatakan, "Gempa bumi tidak terjadi secara acak, tetapi rutin."

Bersama tim peneliti dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Mudrik melakukan penelitian sejarah gempa atau paleo-earthquake.

"Yang kami lakukan adalah melakukan paritan atau ekskavasi di atas tepat sumber sesar aktif," ujarnya pada Kompas.com beberapa waktu lalu.

Salah satu yang diteliti adalah segmen Saluki di Sulawesi Tengah, bagian dari sesar Palu Koro yang memicu gempa Palu dua minggu lalu.

Baca juga: LIPI: Gempa Itu Tidak Acak, Manusia Bisa Menguak Polanya

Mereka meneliti struktur tanah segmen Saluki, mengambil sampel karbon, dan lainnya. Tujuannya, mengetahui interval gempa dan kekuatan yang mungkin ditimbulkan.

Melalui kajian ini, Mudrik dan tim menemukan bahwa di segmen Saluki, gempa terjadi dengan interval setiap 130 tahun dengan kisaran magnitudo 6 hingga 7.

“Kami menemukan gempa bumi di wilayah yang sama pada tahun 1909 dan sekitar lima kali kejadian gempa bumi tua yang belum diketahui usianya. Lalu dua gempa bumi yang lebih tua lagi diketahui terjadi pada 1285 dan 1415,” sambungnya.

Namun, penelitian masih perlu kajian lanjutan. Interval 130 tahun itu masih belum diketahui deviasinya, bisa 50 tahun lebih cepat atau lambat.

Bukan hanya gempa yang bisa diteliti sejarahnya, tetapi juga tsunami. Ahli geologi LIPI lainnya,, Eko Yulianto, melakukan penelitian paleo-tsunami di selatan Jawa.

Dia menemukan, ada tsunami yang terjadi di selatan Jawa antara 1685 hingga 1723. Dengan toleransi 24 tahun, dia membuat asumsi tsunami terjadi pada 5 Januari 1699.

Pada tanggal tersebut, memang ada gempa besar seperti dicatat dalam Katalog Wichman. Pada tahun itu juga, Jakarta porak poranda karena gempa.

"Selama ini banyak yang menduga gempa pada 1699 terjadi di darat karena dampak kerusakannya di daratan. Namun, dari temuan deposit tsunami ini, sekarang ada hipotesis baru, gempa ini terjadi di zona subduksi," terangnya dalam pemberitaan sebelumnya.

Baca juga: Tsunami Pernah Berulang di Selatan Jawa

Kajian sejarah gempa dan tsunami bukan bertujuan membuat ramalan tetapi mendasari mitigasi bencana. Dengan tahu potensi gempa, Indonesia bisa mempersiapkan cara mitigasinya agar tidak timbul banyak korban.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau