Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Benarkah Mayat Korban Bencana Timbulkan Wabah Penyakit?

Kompas.com - 03/10/2018, 10:02 WIB
Gloria Setyvani Putri

Editor

Kendati begitu, jenazah itu dapat menularkan gastroenteritis atau sindrom keracunan makanan bagi penyintas yang selamat, jika jenazah itu mencemari sungai, sumur dan sumber air lainnya.


Dalam panduan manajemen evakuasi jenazah pasca-bencana, WHO mengungkapkan setelah bencana sering ada ketakutan bahwa mayat akan menyebabkan epidemi. Namun, kepercayaan umum ini tidak didukung oleh bukti, dan sering salah dilaporkan oleh media dan oleh sebagian orang.

Tekanan politik yang ditimbulkan oleh desas desus ini dapat yang mengakibatkan hal yang tidak perlu dan secara medis tidak dapat dibenarkan, seperti penguburan massal yang tergesa-gesa dan penggunaan disinfektan yang tidak tepat.

Namun, WHO mengakui, ada risiko - yang tidak pernah diukur atau didokumentasikan - dari air minum yang bersumber dari tanah yang terkontaminasi oleh feses yang dikeluarkan dari mayat kemungkinan menyebabkan diare.

Setelah meninggal, otot tubuh akan berubah menjadi rileks termasuk kandung kemih dan usus sehingga membuat kotoran yang tersisa, keluar. Manajemen buruk dalam memperlakukan jenazah korban bencana alam dapat membuat kotoran ini merembes dan mengontaminasi sumber air.

Yang harus dilakukan terhadap mayat korban bencana

Lalu, apa yang perlu dilakukan untuk memastikan pemakaman jenazah korban bencana tidak menyebarkan penyakit baru bagi mereka yang selamat?

Kepala Sub Tanggap Darurat Bencana PMI Pusat Ridwan S Carman menjelaskan, setelah dievakuasi, jenazah dikumpulkan, diidentifikasi oleh Tim Disaster Victim Identification (DVI) dan diberi catatan untuk keperluan forensik.

"Memang seharusnya begitu. Misalnya ada jenazah yang ditemukan di lapangan dengan ciri-ciri tertentu, itu bisa diambil dokumentasinya, minimal terkait dengan ciri-cirinya atau pakaikan yang dikenaikan," papar Ridwan.

Setelah itu, baru dimulai penguburan jenazah.

Ahli bidang epidemologi dan sanitasi Nyoman Kandun mengatakan, titik kubur harus berada di atas permukaan air tanah untuk melindungi air tanah.

"Jenazah ditanam 1,5 -2 meter sudah cukup aman apa pun jenis tanahnya," ujar Nyoman.

Suasana prosesi pemakaman massal korban gempa tsunami palu di Poboya, Mantikulore, Palu, Senin (1/10). Sebanyak 18 jenazah dimakamkan secara bersamaan, dan dilakukan secara bertahap.ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja Suasana prosesi pemakaman massal korban gempa tsunami palu di Poboya, Mantikulore, Palu, Senin (1/10). Sebanyak 18 jenazah dimakamkan secara bersamaan, dan dilakukan secara bertahap.

Sementara, panduan penanganan pasca bencana WHO mengungkapkan, meskipun tidak ada rekomendasi standar untuk kedalaman kuburan, disarankan bahwa lubang itu harus berada di kedalaman antara 1,5 m dan kedalaman 3 m.

Jika memungkinkan, tanah dengan tekstur berpasir dan mengandung alkali disarankan untuk mencegah kontaminasi air dan degradasi DNA mayat.

Adapun lokasi pemakaman harus setidaknya 30 meter dari mata air atau anak sungai dan 200 m dari sumur atau sumber air minum lainnya.

Pada pemakaman massal, masing-masing jenazah ditempatkan sejajar dengan jarak 0,4 m satu sama lain.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau