KOMPAS.com - 153 jenazah korban gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah, telah dikuburkan secara massal, empat hari pasca bencana. Tim evakuasi khawatir jenazah yang dibiarkan terlalu lama, justru akan menimbulkan wabah penyakit baru. Namun, apakah benar mayat korban gempa bisa menimbulkan wabah penyakit?
Pemakaman massal untuk korban tewas bencana gempa dan tsunami Sulawesi Tengah dilakukan pada Senin (1/10/2018) di TPU Poboya, kota Palu. Sebanyak 18 jenazah itu sebagian sudah diidentifikasi, namun tak segera diambil oleh pihak keluarga.
Dalam proses pemakaman, jenazah diangkut dengan dua truk polisi dan satu mobil bak dari Rumah Sakit Bhayangkara. Lubang dengan luas 10x100 meter disiapkan untuk nantinya dapat menampung 1.000 jenazah.
Tak ada prosesi panjang dalam proses pemakaman ini. Setelah kantung jenazah dimasukkan ke dalam lubang makam massal, seorang anggota TNI lalu memimpin doa.
Baca juga: 153 Jenazah Korban Gempa dan Tsunami Dimakamkan Massal di Palu
"Kenapa kita laksanakan, ini karena memang sudah seharusnya kita lakukan begini. Jadi sudah tiga hari ini jenazah-jenazah ini, ada 18 jenazah yang kita kebumikan secara masal. Dan ini merupakan pemakaman masal yang pertama," ujar Pangdam XIII Merdeka Mayjen Tiopan Aritonang kepada media, Senin (1/10/2018).
Hingga Selasa (02/10), atau empat hari pasca bencana, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sebanyak 153 mayat korban gempa dan tsunami sudah dimakamkan di pemakaman massal di TPU Paboya dan sekitarnya.
"Hari ini akan dimakamkan jenazah lebih banyak. Sudah disiapkan truk dan 1.000 kantong mayat untuk pemakaman jenazah," ujar Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho dalam konferensi pers yang digelar Selasa (02/10) siang.
Data terbaru BNPB menyebutkan 1.374 orang meninggal dunia, dan jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah seiring dengan proses evakuasi yang terus berlangsung.
Sebelumnya, Sutopo mengatakan para korban meninggal akan segera dimakamkan secara massal guna mencegah penyebaran penyakit.
Jenazah yang dimakamkan secara massal hanya dilakukan untuk yang telah diidentifikasi oleh Tim Disaster Victim Identification (DVI) Polda Palu.
Anggapan bahwa pemakaman korban meninggal pasca-bencana harus dilakukan sesegera mungkin guna menghindari penyakit sudah menjadi pemahaman umum.
Namun, ahli epidemiologi yang juga mantan staf ahli menteri kesehatan bidang epidemiologi dan sanitasi, I Nyoman Kandun, tak sependapat dengan hal itu. Ia menganggap wabah yang disebabkan jenazah korban bencana adalah mitos.
"Karena yang meninggal itu orang sehat, bukan orang yang menderita penyakit menular. Jadi, kemungkinan munculnya wabah dari jenazah ini kayaknya sangat kecil dan itu hanya sekedar mitos," tegas Nyoman.
Pendapat Nyoman dikuatkan oleh laporan organisasi kesehatan di bawah PBB, World Health Organization (WHO), yang menyatakan keyakinan masyarakat luas bahwa mayat korban bencana alam menimbulkan risiko kesehatan adalah tidak akurat.
Terutama jika kematian disebabkan oleh trauma, tubuh sangat tidak mungkin menyebabkan penyakit, seperti tipus dan kolera atau wabah.
Kendati begitu, jenazah itu dapat menularkan gastroenteritis atau sindrom keracunan makanan bagi penyintas yang selamat, jika jenazah itu mencemari sungai, sumur dan sumber air lainnya.
Tekanan politik yang ditimbulkan oleh desas desus ini dapat yang mengakibatkan hal yang tidak perlu dan secara medis tidak dapat dibenarkan, seperti penguburan massal yang tergesa-gesa dan penggunaan disinfektan yang tidak tepat.
Namun, WHO mengakui, ada risiko - yang tidak pernah diukur atau didokumentasikan - dari air minum yang bersumber dari tanah yang terkontaminasi oleh feses yang dikeluarkan dari mayat kemungkinan menyebabkan diare.
Setelah meninggal, otot tubuh akan berubah menjadi rileks termasuk kandung kemih dan usus sehingga membuat kotoran yang tersisa, keluar. Manajemen buruk dalam memperlakukan jenazah korban bencana alam dapat membuat kotoran ini merembes dan mengontaminasi sumber air.
Lalu, apa yang perlu dilakukan untuk memastikan pemakaman jenazah korban bencana tidak menyebarkan penyakit baru bagi mereka yang selamat?
Kepala Sub Tanggap Darurat Bencana PMI Pusat Ridwan S Carman menjelaskan, setelah dievakuasi, jenazah dikumpulkan, diidentifikasi oleh Tim Disaster Victim Identification (DVI) dan diberi catatan untuk keperluan forensik.
"Memang seharusnya begitu. Misalnya ada jenazah yang ditemukan di lapangan dengan ciri-ciri tertentu, itu bisa diambil dokumentasinya, minimal terkait dengan ciri-cirinya atau pakaikan yang dikenaikan," papar Ridwan.
Setelah itu, baru dimulai penguburan jenazah.
Ahli bidang epidemologi dan sanitasi Nyoman Kandun mengatakan, titik kubur harus berada di atas permukaan air tanah untuk melindungi air tanah.
"Jenazah ditanam 1,5 -2 meter sudah cukup aman apa pun jenis tanahnya," ujar Nyoman.
Jika memungkinkan, tanah dengan tekstur berpasir dan mengandung alkali disarankan untuk mencegah kontaminasi air dan degradasi DNA mayat.
Adapun lokasi pemakaman harus setidaknya 30 meter dari mata air atau anak sungai dan 200 m dari sumur atau sumber air minum lainnya.
Pada pemakaman massal, masing-masing jenazah ditempatkan sejajar dengan jarak 0,4 m satu sama lain.
Praktik keagamaan yang berlaku dapat menunjukkan preferensi untuk orientasi tubuh dimakamkan (misalnya kepala menghadap timur, atau menghadap kiblat).
Secara berulang, WHO pun menegaskan mayat secara umum tidak menyebabkan wabah setelah terjadinya bencana.
Satu-satunya alasan mayat korban bencana bisa menyebabkan risiko wabah jika korban meninggal mengidap penyakit menular seperti, ebola, kolera dan demam lassa, adalah ketika bencana alam terjadi, daerah tersebut sedang diserang penyakit endemik.
Konsekuensi dari salah urus orang yang meninggal salah satunya adalah tekanan mental terhadap keluarga mereka serta masalah sosial dan hukum.
Justru, populasi yang bertahan hidup jauh lebih mungkin menyebarkan penyakit.
Nyoman mengungkapkan imbas dari disrupsi lingkungan, kelangkaan air bersih, dan sampah berhamburan, bisa menyebabkan terjadinya wabah.
"Jadi ada kemungkinan ada dua jenis penyakit yang menular langsung dan penyakit yang disebabkan penularan melalui vector," ujar Nyoman.
"Yang menular langsung adalah personal hygine dan environmental sanitation yang rusak, bisa muncul penyakit yang ada kaitannya dengan gastroinfestinal (muntah berak)," lanjutnya.
Baca juga: Korban Gempa Donggala Butuh Psychological First Aid, Ini Artinya
Maka dari itu, penanganan tanggap darurat gempa mutlak dilakukan. Kepala Sub Tanggap Darurat Bencana PMI Pusat Ridwan S Carman mengatakan bahwa untuk mencegah wabah penyakit, penanganan korban yang selamat harus diprioritaskan.
"Di tengah seluruh kondisi yang serba minim, kita tetap harus berpikir higienitas menjadi hal yang sangat penting, baik dari sisi dasar, air dan makanan, juga dari sisi promosi perilaku-perilaku masyarakat yang ada disana," papar Ridwan.
Kendati begitu, Ridwan mengakui, hingga kini kondisi air bersih masih terkendala. Saat ini, PMI sudah memobilisasi 22 unit mobil truk tangki dengan kapasitas 5.000 liter.
"Kami juga mengirimkan alat water treatment plant, atau alat pengolah air, yang itu bisa menghasilkan air dalam 8.000 liter per jam," kata Ridwan.
"Itu langkah awal yang kami lakukan, nanti kami juga akan mendistribusikan air siap minum," lanjutnya.
Sayangnya, baru sebagian kecil air bersih itu terdistribusikan di Palu karena terkendala akses logistik yang rusak imbas dari gempa berkekuatan besar dan gelombang tsunami.
"Akses itu memang masih menjadi kendala," cetusnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.