"Begitu listrik mati, data berhenti mengalir. Inilah tantangannya kalau alat tergantung listrik," katanya menerangkan.
Baca juga: Terungkap yang Sebenarnya, Ini Alasan BMKG Akhiri Peringatan Tsunami
Baca juga: Kok Bisa-bisanya Tsunami Palu Tak Terdeteksi? BIG Beberkan Masalahnya
Bagaimanapun, Muhari mengungkapkan, BMKG perlu menjadikan kasus tsunami Palu sebagai pelajaran. Menurutnya, peringatan dini tsunami seharusnya tidak diakhiri dengan cepat karena besarnya magnitudo gempa dan karakter perairan Palu.
"Ketika ada tsunami di Mamuju setinggi 6-20 cm, maka harusnya diperhitungkan juga tsunami di wilayah dekat episentrum seperti Palu. Yang terjadi, ini diabaikan," katanya.
Muhari mencatat, keputusan pengakhiran peringatan dini yang memicu kontroversi ini adalah yang kedua kali. Sebelumnya, pada gempa tahun 2010, BMKG juga mengakhiri peringatan dini dengan cepat sementara tsunami menghantam Mentawai dan baru diketahui setelahnya.
Terlepas dari adanya longsoran di bawah laut atau tidak, amplifikasi gelombang tsunami di wilayah yang berbentuk teluk perlu diwaspadai.
"Wilayah pantai barat Sumatera, seperti Nias, berpotensi mengalami hal yang sama seperti Palu," katanya. Sebelumnya, amplifikasi gelombang tsunami ini juga terjadi saat tsunami Jepang 2011. Gelombang yang sampai mulut teluk Jayapura hanya 60 cm, tetapi di bagian dalam teluk mencapai 3,8 meter.
Investasi pada Infrastruktur Peringatan Dini Segera
Pelajaran bukan hanya untuk BMKG, tetapi juga pemerintah. Ini berkaitan dengan infrastruktur peringatan dini yang bisa memudahkan lembaga seperti BMKG untuk melaksanakan tugasnya.
Setiap kali gempa, pemerintah merespons dengan fokus pada datang ke lokasi, penyaluran bantuan, serta perbaikan infrastruktur pascabencana. Pemerintah belum fokus pada perbaikan alat untuk mencegah lebih banyak korban saat bencana.
Muhari mencontohkan, saat kejadian tsunami Jepang tahun 2011 yang memicu bencana Fukushima, stasiun pasang surut yang di tepi pantai juga mati.
Namun Jepang memiliki banyak back-up alat. "Mereka memasang buoy dan GPS di lepas pantai. Ada beberapa lapis, mulai dari jarak 1.000 kilometer sampai 50 kilometer. jadi ketika ada tsunami, mereka sudah pantau dari asal gelombangnya. NHK ikuti dan tayangkan live sehingga warga tahu gelombangnya di mana," katanya.
Indonesia berinvestasi pada buoy, tetapi belum lengkap dan bermasalah. "Buoy tsunami kita tidak ada yang berfungsi," terang Muhari.
Baca juga: Apa itu Sesar Palu Koro yang Menyebabkan Tsunami dan Gempa Bumi?
Dengan wilayah Indonesia yang luas, stasiun pasang surut yang ada pun terbatas. "Ketika fasilitas terbatas, yang ada bencana selalu datang pada waktu dan tempat yang tidak tepat. Alatnya ada di A, tetapi bencananya di B dan akhirnya tetap jatuh korban," ungkap Muhari.
Ahli tsunami Gegar Prasetya seperti dikutip Kompas pada Minggu (30/9/2018) mengatakan, "Butuh berapa nyawa lagi untuk menyadarkan kita bahwa negara ini sangat rentan gempa dan tsunami? Kita butuh perubahan radikal untuk membangun kesiapsiagaan, baik dari aspek fisik maupun sosial."
Last but Not Least, Kita Juga Perlu Belajar
Terakhir dan tak kalah penting adalah pelajaran untuk kita. Setiap kali bencana, kita berhenti pada #PrayforPalu, #PrayforLombok, dan seterusnya. Namun banyak dari kita lupa untuk siap siaga bencana.
Di banyak wilayah, gempa bermagnitudo rendah saja memicu kerusakan yang parah. Artinya ada yang salah dalam cara kita membangun dan memilih tempat untuk rumah. Kecuali kita juga ingin menjadi korban, kita perlu berinventasi pada keselamatan bencana.
Peta interaktif yang dibuat Kompas.com untuk memperingati 10 tahun Gempa Yogyakrta ini menunjukkan bahwa hampir tak satu pun dari kita bisa bebas dari ancaman gempa bumi, tsunami, dan bencana geologi lainnya...
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.