Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Harimau Sumatera Terus Menerus Jadi Korban, Bagaimana Melindunginya?

Kompas.com - 27/09/2018, 19:08 WIB
The Conversation,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

Sumber

Oleh Fachrudin Majeri Mangunjaya*

KOMPAS.com - Harimau Sumatra makin terancam populasinya karena deforestasi dan perburuan ilegal. Manusia adalah faktor ancaman terbesar terhadap harimau, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Sekarang ini, menurut catatan resmi  The International Union for Conservation of Nature (IUCN), populasi harimau Sumatra ada pada kisaran antara 400-500 individu. Namun keberadaannya menjadi sangat kritis karena ancaman kehilangan habitat, berkonflik dengan manusia, dan juga perburuan.

Dahulu, harimau Sumatra (Panthera tigris sondaica) hidup di hutan di Pulau Sumatra, Jawa, dan Bali. Tapi kini mereka hanya tersisa di Sumatra. Mereka kerap berkonflik dengan penduduk lokal karena makin mengecil habitatnya. Pada saat bersamaan penduduk kerap memburu mereka untuk diperjual-belikan bagian tubuh “kucing gede” ini di pasar gelap.

Dalam upaya mempelajari dan meminimalkan konflik, kami meneliti secara interdisiplin dengan cara memetakan desa-desa di Jambi dengan risiko tinggi pertemuan harimau-manusia.

Kami juga meneliti di mana penduduknya memiliki toleransi rendah terhadap satwa liar. Desa-desa ini perlu dijadikan prioritas untuk intervensi konflik harimau-manusia dengan menggunakan pendekatan budaya dan agama.

Pendekatan yang tak membuat jera

Selama ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengambil pendekatan penegakan hukum pidana saat terjadi harimau mati.

Namun, pendekatan ini tampaknya tidak menimbulkan efek jera dalam mengurangi serangan penduduk terhadap harimau. Tatkala tekanan datang, seperti ancaman bahaya harimau dianggap mengganggu, maka masyarakat tidak segan untuk membunuhnya.

Dalam riset sebelumnya oleh Chris R Shepherd dari Monitor Conservation Research Society (Monitor) terungkap pula bahwa perburuan didorong oleh adanya praktik komersial atau permintaan pasar.

Dengan kata lain, tidak jarang ditemukan niat membunuh harimau didorong oleh adanya keperluan uang.

Di lain pihak, para ilmuwan, salah satunya Shonil A. Bhagwat dari Open University, mengemukakan bahwa pendekatan budaya dan agama dapat mendukung perlindungan terhadap biodiversitas yang kemudian dapat menjadi elemen penting untuk mencegah perburuan tersebut.

Intervensi konflik manusia-harimau

Selama tiga tahun, 2014-2017, kami mendata 2.386 responden dari 72 desa di sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat, Jambi. Kami kemudian menggabungkan analisis spasial risiko perjumpaan dengan harimau dengan informasi tentang toleransi untuk mengungkapkan penyebab konflik manusia-harimau.

Baca juga: 10 Fakta Mengagumkan tentang Harimau Sumatera yang Jarang Diketahui

Kami memetakan desa-desa yang memiliki risiko pertemuan harimau sangat tinggi–yaitu desa yang dekat hutan atau sungai, dan memiliki toleransi rendah terhadap harimau.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau