Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Minimal Invasive, Solusi Penyakit Jantung dan Urologi Tanpa Operasi

Kompas.com - 30/08/2018, 17:00 WIB
Bhakti Satrio Wicaksono,
Gloria Setyvani Putri

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Mungkin banyak dari kita yang berpikir masalah penyakit jantung dan urologi hanya bisa ditangani dengan operasi konvensional. Kini, berkat kemajuan teknologi di bidang kesehatan, tindakan operasi dapat diganti dengan prosedur lain yang bernama minimal invasive.

Teknik minimal invasive merupakan tindakan bedah dengan sayatan minimal atau sering disebut dengan bedah lubang kunci. Prosedur ini diharapkan dapat mengurangi trauma dan komplikasi pada pasien.

Berbeda jenis penyakit, berbeda pula penerapan teknik minimal invasive yang dilakukan. Misalnya saja, penanganan penyempitan pembuluh jantung lewat minimal invasive berbeda dengan penanganan batu ginjal.

Baca juga: Kerutan di Dahi Bisa Jadi Tanda Adanya Penyakit Jantung

Penanganan minimal invasive untuk penyempitan pembuluh jantung

Pada penyempitan pembuluh jantung, dokter akan memasang stent atau tabung dari logam yang dimasukkan ke arteri untuk membuat pembuluh jantung tetap terbuka.

Dari kiri, dr. Yanwar Hadiyanto, CEO RS Pondok Indah Group, dr. Hery Tiera, spesialis bedah urologi, dan dr. Wishnu Aditya, spesialis jantung dan pembuluh darah, dari RS Pondok Indah dalam kegiatan Solusi Minimal Invasive, di Jakarta, Rabu (29/08/2018). Dari kiri, dr. Yanwar Hadiyanto, CEO RS Pondok Indah Group, dr. Hery Tiera, spesialis bedah urologi, dan dr. Wishnu Aditya, spesialis jantung dan pembuluh darah, dari RS Pondok Indah dalam kegiatan Solusi Minimal Invasive, di Jakarta, Rabu (29/08/2018).

"Pada kasus penyempitan pembuluh jantung, pertama pasien akan dibius lokal sehingga dokter dan pasien masih bisa berkomunikasi. Kemudian, ada alat yang digunakan untuk mendapatkan akses ke pembuluh darah, kita sering bilangnya arterial sheath. Lalu, selang kecil akan masuk dari pembuluh darah tangan atau kaki sampai ke jantung,” ujar dr. Wishnu Aditya, dokter spesialis jantung dari Rumah Sakit Pondok Indah ditemui di Jakarta, Rabu (29/8/2018).

Dalam acara bertajuk Solusi Minimal Invasive untuk Penanganan Gangguan Jantung, Pembuluh Darah, dan Urologi, Wishnu menerangkan langkah selanjutnya yang dilakukan dokter adalah mengamati citra pembuluh yang menyempit dengan teknologi bernama c-arm.

Dibantu c-arm, dokter dapat melakukan pembukaan pembuluh darah yang tersumbat dengan balon dan pemasangan stent.

Balon berada di dalam stent yang nantinya akan dikembungkan agar stent dapat mendorong pembuluh darah yang tersumbat dengan bantuan balon.

"Pada jangka waktu 3 sampai 4 bulan, ring akan menyatu dengan pembuluh darah. Jadi bisa menyelesaikan penyempitan pembuluh darah lebih mudah," terang Wishnu.

Penanganan minimal invasive untuk batu ginjal

Sementara saat menangani pasien batu ginjal, penanganan justru dilakukan di luar tubuh.

"Untuk batu ginjal ukuran kurang dari 2 sentimeter, bisa dilakukan extracorporeal shock wave lithotripsy (ESWL), artinya pemecahan batu dari luar tubuh. Jadi pasien tiduran, nanti ditempelin alat, lalu disalurkan gelombang agar bisa memecah batu dari luar tubuh," papar dr. Hery Tiera, dokter spesialis bedah urologi dari RS Pondok Indah di tempat yang sama.

Batu yang dihancurkan dari luar tubuh, nantinya akan larut bersama dengan pembuangan air seni manusia.

Perlu dicatat, metode ini hanya khusus untuk batu ginjal yang berukuran kurang dari dua sentimeter. Untuk batu ginjal yang berukuran lebih besar, Hery mengatakan ada metode lain yang juga dinilai cukup aman.

"Batu yang lebih dari 2 sentimeter, sebenarnya jarang terjadi. Tapi kalau kasus ini terjadi, pasien akan dirawat dengan teknik Percutaneus Nephrolithotomy (PCNL). Jadi kita bikin bolongan sendiri yang langsung ketemu titik batu ginjalnya, lalu menembakkan laser, kemudian menyedot batu ginjal tersebut," jelasnya.

Hery menambahkan, jika ada sisa-sisa dari batu ginjal yang tertinggal dari metode PCNL ini karena ukurannya yang masih kurang kecil, dapat dikombinasikan dengan teknik ESWL agar batu tersebut larut.

Baca juga: Jangan Sembarangan Konsumsi Antibiotik, Bisa Berisiko Batu Ginjal

Kekurangan

Kendati demikian, metode ini tidak sepenuhnya sempurna.

Pasalnya, minimal invasive yang dilakukan pada penderita penyempitan jantung masih perlu evaluasi lebih lanjut, mengingat penggunaan radiasi dapat menurunkan fungsi ginjal.

Hal yang sama pun dapat terjadi pada penyakit batu ginjal. Meski bukan radiasi, namun proses memasukkan alat ke dalam tubuh manusia, dapat menimbulkan infeksi jika alatnya tidak steril.

"Untuk semua operasi, semua alat harus dalam keadaan steril. Yang melakukan pekerjaan (prosedur) juga harus menggunakan pelindung agar tidak menyebarkan kuman pada pasien dan sebaliknya. Begitu pula alat-alatnya, kita punya bagian CSSD (Central Sterile Supply Department), yang harus melakukan sterilisasi pada alat-alatnya untuk setiap selesai tindakan," jelas Hery.

"Jadi alat dan dokter harus sangat steril. Tapi sesteril-sterilnya apa pun itu kita melakukan tindakan, risiko infeksi tetap ada. Karena kita tidak bisa menekan sampai benar-benar nol persen. Makanya setiap kali operasi, setiap ada akses ke dalam tubuh, pasti diberikan antibiotik agar tidak berkembang infeksi setelah operasi," pungkas Hery.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com