Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bahasa Gado-gado, Lepas Sejenak dari Norma dan Tabu yang Mengekang

Kompas.com - 09/06/2018, 20:06 WIB
Shierine Wangsa Wibawa

Editor

Sumber

Sebelum era kemerdekaan, para pendiri bangsa memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi yang menyatukan berbagai kelompok suku dalam satu identitas kebangsaan.

Dalam konvensi perwakilan pemuda dari berbagai suku pada 1928, yang tanggal pelaksanaannya kini diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda, mereka menyepakati adanya “Satu bahasa, satu tanah air, dan satu bangsa”.

Peringatan setahun sekali Sumpah Pemuda ini mengingatkan warga negara Indonesia, khususnya generasi muda, bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa bangsa Indonesia.

Pemerintah Orde Baru juga memperkuat semangat nasionalisme melalui bahasa. Pada 1990-an, pemerintah Orde Baru melarang penggunaan bahasa Inggris di markah hotel-hotel dan gedung-gedung.

Setelah tumbangnya pemerintahan Orde Baru, pemerintahan pasca-Orde baru di era Reformasi pun memiliki kebijakan yang hampir serupa dengan mengeluarkan Undang-Undang No. 24/2009.

Menurut analisis wacana dalam penelitian terbaru dan berdasarkan interpretasi saya mengenai ideologi bahasa, undang-undang tersebut menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang hendaknya dicintai, bahasa daerah sebagai bahasa yang harus dilestarikan, dan bahasa Inggris sebagai bahasa asing yang harus dikuasai.

Pembedaan antara bahasa-bahasa tersebut mengisyaratkan kepada warga Indonesia untuk menggunakan bahasa Indonesia dalam keseharian sebagai bentuk cinta dan untuk menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa “luar” yang hanya perlu dikuasai untuk urusan ekonomi, teknologi, dan ilmu pengetahuan.

Beda bahasa, beda ideologi?

Pemisahan fungsi bahasa-bahasa tersebut mengisyaratkan keyakinan pemerintah atas ideologi yang dibawa oleh masing-masing bahasa.

Pemerintah memposisikan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang harus kita gunakan dalam keseharian, dalam ragam formal. Namun, pada kenyataannya kita lebih sering menggunakan bahasa Indonesia yang baku di ruang-ruang kelas, daripada di pergaulan kita.

Sedangkan bahasa daerah, bagi pemerintah, berfungsi untuk mengkomunikasikan hal-hal tradisional dan kedaerahan. Untuk bahasa Inggris, pemerintah melihatnya sebagai bahasa luar yang asing dan mengharapkan masyarakat Indonesia untuk menguasainya, tapi tidak mengadopsi “ideologi” dan “budaya” yang dibawanya.

Secara tidak langsung, pemerintah dan kebanyakan masyarakat Indonesia melihat bahasa Inggris sebagai pembawa pengaruh dari luar. Sebagian pengaruh tersebut dianggap tidak baik atau bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, atau semangat kebangsaan kita.

Ideologi yang tersirat inilah yang pada akhirnya sering kali digunakan sebagai landasan untuk memandang buruk seseorang yang mencampur bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris.

Bahasa gado-gado dalam novel

Selain meneliti novel, saya juga menganalisis teks beberapa film Indonesia. Dalam semua teks ini, alih-alih menggunakan bahasa gado-gado secara acak, penulis dan karakter menggunakannya secara diskursif atau mempunyai pola dan tujuan.

Juga, penggunaan bahasa gado-gado di kedua media ini terjadi dalam ragam bahasa dan tata bahasa yang baik, yang pada akhirnya memberikan ruang untuk kita untuk segera merenungkan, “Benarkah semua fenomena penggunaan bahasa gado-gado adalah bentuk dari keserampangan atau penyimpangan berbahasa?”

Dalam tulisan kali ini, saya meneliti beberapa novel dan teks populer, seperti serial Ms. B oleh Fira Basuki, 9 Summers 10 Autumns (9S10A) oleh Iwan Setyawan, dan Madre oleh Dewi Lestari, yang diterbitkan setelah era runtuhnya era Orde Baru. Novel-novel tersebut diterbitkan antara 2004-2011.

Hasil penelitian saya mengungkapkan bahwa salah satu fungsi bahasa gado-gado terkait dengan perayaan kebebasan setelah runtuhnya pemerintahan Orde Baru.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com