Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Resmi Sudah, Alam Liar Terakhir Bumi Terkontaminasi Plastik

Kompas.com - 09/06/2018, 19:07 WIB
Monika Novena,
Shierine Wangsa Wibawa

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Peneliti melaporkan adanya penemuan jejak plastik serta bahan kimia berbahaya di Antartika.

Kabar ini tentunya menjadi hal yang menyedihkan karena wilayah ini merupakan bagian terakhir dari planet yang sebagian besar tetap tak tersentuh oleh efek kerusakan aktivitas manusia.

Temuan ini berdasarkan penelitian terhadap sampel air serta salju yang ada di Antartika. Sejak awal tahun ini, para peneliti menghabiskan tiga bulan untuk mengambil sampel air dan salju dari daerah terpencil di Antartika.

Hasil analisisnya cukup mengejutkan. Peneliti menemukan bahwa air serta salju tersebut mayoritas berisi bahan kimia berbahaya persisten atau mikroplastik.

Baca juga: Ribuan Sampah plastik Ada di Titik Terdalam Lautan, Ini Artinya

Rinciannya, tujuh dari delapan sampel air permukaan laut yang diuji mengandung mikroplastik seperti mikrofiber. Sementara itu, tujuh dari sembilan sampel salju yang diuji mengandung konsentrasi yang dapat dideteksi dari bahan kimia berbahaya persisten (PFAS).

Sampel-sampel itu, menurut peneliti, berasal dari hujan atau hujan salju yang terkontaminasi.

Selama ini, bahan kimia seperti mikroplastik memang banyak digunakan dalam banyak proses industri dan produk konsumen. Mikroplastik juga telah dikaitkan dengan isu-isu reproduksi dan perkembangan satwa liar.

Temuan ini tentunya menggambarkan situasi yang menyedihkan, di mana dunia memang tengah menghadapi kekhawatiran dari krisis pencemaran plastik yang sudah jauh-jauh hari diperingatkan oleh para ilmuwan.

Baca juga: Krisis Sampah Plastik Ancam Indonesia, Seberapa Parahkah Kondisinya?

Frida Bengtsson, dari kampanye Protect the Antarctic Greenpeace, berkata bahwa temuan ini membuktikan kalau daerah paling terpencil di planet ini pun tidak kebal dari dampak polusi buatan manusia.

"Plastik kini telah ditemukan di seluruh pelosok lautan kita, dari Antartika hingga titik terdalam lautan di palung Mariana. Kita membutuhkan tindakan segera untuk mengurangi aliran plastik ke laut. Dan kita membutuhkan suaka untuk melindungi kehidupan laut untuk generasi mendatang," ujar Bengtsson.

Prof Alex Rogers, pakar di bidang kelautan di sekolah Oxford  Martin, Oxford University, mengatakan, penemuan plastik dan bahan kimia di Antartika menegaskan bahwa polutan buatan manusia sekarang mempengaruhi ekosistem di setiap sudut dunia.

Dia juga memperingatkan konsekuensi dari kontaminasi yang makin menyebar ini belum diketahui.

Baca juga: Anak Anjing Laut Mati dengan Plastik di Perut karena Ulah Manusia

"Pertanyaan besarnya adalah apa konsekuensi dari temuan di Antartika tersebut? Banyak dari bahan kimia ini sangat buruk dan ketika mereka naik ke rantai makanan, mereka mungkin memiliki konsekuensi serius bagi kesehatan satwa liar dan pada akhirnya manusia. Efek mikro pada kehidupan laut juga sebagian besar belum dipahami," katanya.

Menyikapi krisis ini, Para peneliti berencana mendirikan Cagar Alam Antartika seluas 1,8 juta kilometer persegi di mana paus, penguin dan kehidupan lainnya dapat berkembang di perairan dan terlindungi.

"Tindakan ini untuk menghentikan polutan di Antartika dan kami membutuhkan cagar alam untuk memberi ruang bagi penguin, paus dan seluruh ekosistem untuk pulih," tambah Bengtsson.

Proposal mengenai suaka tersebut baru akan diputuskan pada pertemuan Antarctic Ocean Commission di Tasmania, Australia Oktober mendatang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com