KOMPAS.com - Harga rokok yang beredar di pasaran belum naik secara menyeluruh. Akibatnya, rokok masih terjangkau untuk dibeli anak-anak.
Demikian hasil yang dilaporkan Iman Mahaputra Zein, Program Officer Lentera Anak, Rabu (30/5/2018), di Jakarta.
“PMK tidak mampu mengendalikan konsumsi rokok. Anak SD dengan uang saku (umumnya) Rp 10.000 per hari tidak takut untuk membeli rokok yang hanya Rp 1.000 sampai Rp 1.200 per batang,” ujarnya.
Pernyataan tersebut ia kemukakan paska Yayasan Lentera Anak bersama FCTC Warrior melakukan pemantauan langsung di lapangan mengenai harga rokok dan pola penjualan rokok.
Terdapat 46 warung di 19 kota yang dijadikan target pemantauan. Kota yang terpilih berdasarkan domisili 21 anak muda yang menjadi surveyor.
Baca juga: Bukti Baru, Efek Buruk Rokok Lebih Mengerikan Bagi Perokok Remaja
Para anak muda yang rentang usianya dari 17 hingga 24 tahun ini melakukan dua kali pemantauan, yakni pada Desember 2017 dan Februari 2018.
Aksi ini mereka lakukan untuk mengetahui secara langsung pengaruh Peraturan Menteri Keuangan nomor 146/PMK.010.2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.
Pasalnya, saat sosialisasi oleh Kemkeu pada November 2017, mereka diundang dan mengetahui bahwa kenaikan tarif cukai rokok sebesar 10,04 persen.
Menurut tiga perwakilan FCTC Warrior yakni Siti Nur Dzakiyyatul Khasanah (Semarang), Made Syanindita Putri Larasati (Bali), dan Muhammad Syafaat (Palu); kebijakan PMK tersebut belum diketahui oleh para pedagang.
Syafaat mencontohkan, di Palu kenaikan harga rokok justru terjadi pada momen tertentu mengikuti pola kebutuhan para pedagang.
Baca juga: Studi: Satu atau 20 Batang Rokok Per Hari Sama-sama Mematikan
“Kenaikan harga rokok tiap tahun bukan karena PMK. Tapi misalnya mau lebaran, bahan bakar minyak (BBM) naik, atau bahan pokok naik; baru itu harga rokok naik. Kenaikannya bukan per batang tapi per bungkus,” ungkapnya dalam acara peluncuran buku Katalog Harga Rokok.
Padahal, kenyataan yang ia jumpai di pasaran menunjukkan bahwa harga rokok per batang tersebut masih terbilang murah, belum menyentuh angka Rp 1.500 per batang, sehingga anak-anak usia pelajar SD hingga SMA masih mampu untuk menebusnya.
“Apalagi biasanya pedagang yang menjual rokok per batang itu dekat dengan lokasi sekolah,” timpal Laras.
Kiya, Warrior lain, ikut menambahkan, kondisi tersebut semakin diperparah dengan kebiasaan pedagang.
“Pedagang tidak menanyakan umur dan untuk siapa rokok tersebut ketika ada anak-anak beli. Bahkan otomatis disediakan korek. Lalu rokok tersebut terpajang bersama makanan supaya bikin anak-anak tertarik,” imbuh Kiya.
Baca juga: Kerugian Ekonomi dari Konsumsi Rokok Indonesia Hampir Rp 600 Triliun
Secara keseluruhan, hasil temuan dari para Warior mengungkapkan bahwa harga rokok hanya mengalami kenaikan di enam kota saja. Kota tersebut adalah Bandar Lampung, Pekanbaru, Jember, Pandeglang, Langsa,, dan Mataram.
Kenaikan tersebut kisarannya pun hanya sebatas Rp 500 per batang dan belum menyeluruh pada sembilan merek yang disurvei.
Untuk itu, Yayasan Lentera Anak dan para Warrior berharap agar harga rokok dinaikkan pada level yang tidak lagi bisa dijangkau anak-anak.
“Selain itu, rokok jangan diperbolehkan dijual per batang. Pedagang saja sebenarnya enggan untuk jual ecer karena lama balik modalnya. Pemerintah pun harus menerapkan kebijakan untuk jual rokok harus per bungkus,” tambah Syafaat.
Tanggapan Kemkeu
Menanggapi hal tersebut, Nasruddin Djoko Surjono, Kepala Bidang Kepabeanan dan Cukai Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemkeu mengatakan, kenaikan harga rokok memang tidak bisa serta merta.
Baca juga: Menurut Peneliti, Poster Anti Rokok Justru Memicu Remaja Merokok
Hal ini bergantung pada mekanisme mana yang dipilih oleh industri rokok.
Pertama adalah over shifting, yakni perusahaan bisa saja segera mengubah harga rokok dan langsung melampaui kenaikan harga yang ditetapkan. Misalnya kalau kenaikan diharuskan Rp 100, maka perusahaan menjualnya dengan kenaikan Rp 150.
“Nah kalau undershifting ini industri semacam nalangin, yakni (memberi) subisidi (ke pedagang). Naiknya bertahap, tidak langsung satu bulan (paska PMK). Kemungkinan misalnya bakal naik di Agustus lalu Desember. Rentang setahun,” ujarnya.
“Kalau enggak kuat (melakukan undershifting), industri mati,” lanjutnya lagi.
Kendati cukai rokok dianggap belum mampu mengendalikan konsumsi rokok, khususnya terhadap anak-anak; Nasurddin tetap optimistis hal itu bisa tercapai jika menilik persentase produksi rokok.
“Intinya pengendalian (konsumsi) itu di pengendalian produksi. Produksi rokok pada tiga tahun terakhir menurun sekitar minus 1,8 persen,” ujarnya.
“Dari tahun 2015 ada 348 miliar batang. Lalu pada tahun 2016 produksinya sebesar 341,7 batang. Pada tahun 2017, angkanya di 336,3 batang,” tandasnya.
Dengan demikian, jika produksi terus menurun dan permintaan meningkat maka dengan sendirinya harga rokok juga akan melambung sehingga bisa menekan angka konsumsi.
Pemerintah pun pada tahun mendatang tetap akan menaikkan cukai rokok, meski ia belum menyampaikan berapa besarannya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.