KOMPAS.com - bulan Ramadhan akan segera tiba. Salah satu yang tak pernah absen saat jelang Ramadhan adalah penentuan bulan baru.
Penentuan bulan baru ini didasarkan oleh penglihatan (rukyat) atau perhitungan (hisab).
Kedua metode ini juga diterima sebagai mazhab dalam ilmu astronomi.
Seiring berjalannya waktu, ilmu astronomi mengalami perkembangan. Salah satunya dalam teknologi yang digunakan.
Ninok Leksono dalam tulisannya di Kompas.com pada 2010 menyebut bahwa orang mempelajari alam semesta dengan banyak cara, mulai dari observasi, dengan teleskop yang makin canggih, hingga abstraksi yang didukung oleh ilmu matematika amat hebat.
Selain melihat hilal atau bulan baru, ilmu tentang bumi dan bulan masih sangat luas. Khususnya, tentang masa depan hubungan bumi dan bulan.
Baca juga: Bulan Terlalu Rendah, Sidang Isbat Mungkin Putuskan Awal Ramadhan 17 Mei
Pertanyaan yang mendasar adalah apakah hubungan tersebut masih akan terus berlangsung seperti sekarang?
Para ahli tata surya mulai berdiskusi tentang hal ini dan membuat beberapa skenario.
Di antara skenario itu, salah satunya didasarkan pada teori evolusi bintang. Teori ini menyebutkan bahwa matahari akan mengembang menjadi bintang raksasa merah.
Jika hal itu terjadi, maka bumi dan bulan akan melayang di sekitar atmosfer matahari.
Merujuk pada teori tersebut, bisa jadi bumi akan tertarik oleh matahari kemudian tamat riwayatnya.
Namun sebaliknya, jika bulan yang lebih mendapat pengaruh dari matahari, ia akan secara spiral mendekati bumi.
Ketika sudah dekat, gravitasi bumi justru akan membuat bulan pecah.
Baca juga: Hilal Di Bawah Ufuk, Apa Artinya dalam Penentuan Awal Bulan Puasa?
Skenario lain menyebut, ada pula kemungkinan bahwa 1,5 miliar tahun ke depan matahari sudah mengecil.
Ini menyebabkan gravitasinya ikut mengecil sehingga bumi dan bulan mungkin lepas dari pengaruhnya.
Di luar skenario-skenario tersebut, satu fakta yang sudah diketahui para ilmuwan adalah bulan semakin menjauh dari bumi.
Dalam tulisan Ninok, dijelaskan bahwa hal ini membuat bulan tampak lebih kecil dalam kurun satu miliar tahun lagi -jika masih ada manusia yang sempat menyaksikan.
Karena ukuran bulan saat itu, sudah tidak ada lagi gerhana matahari.
Tak hanya itu, dengan ukuran bulan yang makin mengecil, penampakan bulan dan penentuan bulan baru dengan melihat hilal mungkin tak lagi terjadi.
Baca juga: Rupanya Ada yang Disebut Hilal Tua dan Muda, Apa Bedanya?
Sebagai informasi, hingga saat ini kita menentukan fase bulan baru dengan memperhatikan pergerakan bulan dari bumi pada jarak 385.000 kilometer.
Namun, ilmu astronomi tak hanya mempelajari benda langit sejauh bulan saja, melainkan seluruh tata surya bahkan galaksi.
Artinya, lingkup bumi dan bulan hanya merupakan satu aspek kecil dalam konteks di atas.
Sebagai contoh, bumi yang menghampar luas dengan keliling 40.000 km di khatulistiwa dan bergaris tengah 12.000 km hanya seperti titik kecil saja dibandingkan matahari.
Padahal, pada sisi lain, matahari yang demikian sentral bagi kehidupan adalah anggota di Galaksi Bima Sakti (Milky Way) yang begitu besar.
Dari montase foto Bima Sakti, matahari dan planet-planetnya hanyalah noktah kecil di bagian pinggirnya. Matahari hanya satu dari 200.000.000.000 bintang yang ada di Bima Sakti.
Begitu juga Bima Sakti yang hanya satu di antara triliunan galaksi di alam semesta.
Dalam konteks itulah, di satu sisi kita perlu terus memuliakan bumi dan bulan, tetapi pada sisi lain juga perlu terbuka untuk memahami secara lebih baik tentang alam semesta.
Dengan olah akal budi itulah, religiusitas kita bisa mendapatkan pemaknaan baru ke arah yang lebih berkualitas.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.