Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah dari Desa Pengudang, Selamatkan Ikon Bintan dengan Menjaga Lamun

Kompas.com - 26/04/2018, 11:33 WIB
Shierine Wangsa Wibawa,
Resa Eka Ayu Sartika

Tim Redaksi

BINTAN, KOMPAS.com - Dalam upaya mengonservasi duyung, Dugong & Seagrass Conservation Project (DSCP) Indonesia mengandalkan masyarakat Desa Pengudang untuk mengelola daerah perlindungan padang lamun.

Rabu (25/4/2018), Kompas.com berkesempatan untuk menengok daerah perlindungan padang lamun (DPPL) di Desa Pengudang, Kecamatan Teluk Sebong, Kabupaten Bintan.

DPPL ini merupakan satu di antara empat DPPL di Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau. Sisanya ada di Desa Berakit, Desa Malang Rapat, dan Desa Teluk Bakau.

Samsul Hidayat selaku perwakilan dari kelompok masyarakat Pengudang berkata bahwa DPPL pertama kali ditetapkan pada 2010 seluas empat hektar dan berada di bawah pengelolaan dua dusun di desa Pengudang.

Baca juga: Lestarikan Dugong untuk Lamun dan Manusia

Penetapan itu berawal dari sosialisasi program Trikora Seagrass Management Demosite (Trismasdes) yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Bintan.

Setelah satu tahun berlalu, padang lamun terpengaruh oleh pengerukan laut untuk pendalaman jalur pelayaran internasional dan sisa dua hektar saja. Dua hektar inilah yang masih ada dan dijaga hingga sekarang.

Samsul berkata bahwa para nelayan Desa Pengudang bekerja sama untuk menjaga agar DPPL tidak diganggu oleh pengunjung, kapal maupun jaring.

Ketika musim selatan tiba, DPPL juga diberi penanda dari kayu untuk mencegah masuknya pengunjung ke area tersebut.

“Kalau dilihat, semak di depannya tidak dibersihkan karena bisa mengundang masyarakat luar untuk turun ke laut dan sampai masuk DPPL. Jadi (di bagian depan) dibiarkan bersemak sehingga enggak ada aktivitas di DPPL selain masyarakat sini,” kata Samsul.

Sebaliknya, keberadaan DPPL juga dinilai Samsul memberi manfaat bagi warga, terutama dalam meningkatkan kekompakkan warga karena menimbulkan rasa ikut memiliki laut.

“Kalau pada jumlah ikan, ada efek tapi enggak terlalu besar. Mungkin karena DPPL ini tidak terlalu besar dan pengawasannya masih kurang,” ujar Samsul.

Sementara itu, Iwan, tokoh masyarakat yang berperan besar dalam mengembangkan pariwisata Desa Pengudang, berkata bahwa Desa Pengudang masuk dalam pariwisata berkelanjutan berkat upaya-upaya konservasi yang telah dijalankan.

Baca juga: LIPI Targetkan Rilis Indeks Kesehatan Mangrove dan Lamun pada 2019

Bahkan, meskipun program pariwisata baru berjalan 6 hingga 7 bulan, Desa Pengudang telah mampu menarik perhatian 500 turis lokal dan internasional untuk datang berkunjung.

Patung dugong di pantai TrikoraKompas.com/Shierine Wangsa Wibawa Patung dugong di pantai Trikora

Sukendi Darmasyah, SPi, MSi dari Direktorat Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut, Ditjen Pengelolaan Ruang Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan pun sependapat.

“Kalau padang lamun dijadikan destinasi wisata bisa menaikkan ekonominya, sekaligus menjaga kelestarian pariwisata pantai. Lamun bukan cuma dugong (duyung), tapi mimi, penyu, dan ikan-ikan lain. Kalau rusak lamunnya, biotanya pasti akan pindah. Dampaknya pada ekonomi nelayan di sini,” katanya.

Ikon Bintan

Penetapan DPPL merupakan salah satu hasil dari program Trismasdes. Program yang berlangsung dari 2007 hingga 2009 ini merupakan bagian dari konservasi duyung (Dugong dugon) di Bintan.

Duyung yang merupakan hewan rentan punah menurut IUCN dan satwa yang dilindungi dalam Peraturan Pemerintah no 7 Tahun 1999 telah menjadikan Bintan sebagai habitat alaminya. Hal ini tidak lain karena banyaknya padang lamun yang berkondisi sehat di daerah ini.

Siti Kusmiati, Site Manager DSCP Indonesia-Bintan, menjelaskan di kantor Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Riau, Selasa (24/4/2018) bahwa dari 13 lamun yang ada di Indonesia, sebanyak 10 hingga 11 lamun ada di Bintan.

Bagi dugong, lamun tidak hanya sekadar makanan, tetapi juga rumah. Terutama pada masa penyapihan, kondisi lamun yang optimal sangat dibutuhkan bagi ibu duyung yang harus menyusui anaknya. Sang ibu dan anak pun tidak akan bermigrasi jauh-jauh dari padang lamun mereka.

Baca juga: Bagaimana Cara Menyehatkan Lamun Kembali?

Menyadari hal ini, masyarakat Bintan pun setuju untuk menjadikan duyung sebagai ikon mereka pada 2010. Mereka membangun gapura, patung dan landmark duyung, serta memproduksi cendera mata dan batik duyung.

Namun, Desa Pengudang ingin melangkah lebih jauh lagi. Disampaikan oleh sekretaris desa, Yanti Mardalia,S.Sos; warga desa ingin membangun dugong center.

Akan tetapi, perencanaan dugong center terkendala lahan karena 80 persen dari luas desa yang mencapai 54 kilometer persegi telah menjadi milik perusahaan sejak tahun 1990-an.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau