Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terdampak Reklamasi, Lamun Sehat di Indonesia Tinggal 5 Persen

Kompas.com - 08/06/2017, 17:06 WIB
Lutfy Mairizal Putra

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com –- Kondisi kekayaan alam Indonesia tidak dapat dikatakan menggembirakan. Baik darat maupun laut, keduanya masih perlu mendapat perhatian dari masyarakat dan pemerintah.

Meski kalah populer dengan terumbu karang, lamun, sejenis tumbuhan berbunga di laut, sedang dalam kondisi yang cukup memprihatinkan.

Faktanya, hanya lima persen dari padang lamun di Indonesia yang memiliki kondisi sehat. Temuan itu didapat dari hasil verifikasi tim Tim Walidata Lamun Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Pengetahuan Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) terhadap padang lamun seluas 1.507 kilometer persegi pada tahun 2016.

Kesehatan padang lamun ditandai dengan tutupannya di dalam suatu area dan berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 200 tahun 2004, padang lamun sehat ditandai dengan tutupan lamun lebih dari 60 persen di wilayah habitatnya. Kondisi itu, misalnya, terjadi di Pulau Biak, Papua.

Sementara itu, bila lamun kurang sehat, tutupannya hanya akan mencapai 30 hingga 59,9 persen. Berdasarkan kriteria tersebut, tim peneliti pun menyatakan bahwa di Indonesia, presentase lamun kurang sehat sebesar 80 persen. Lalu, lamun tidak sehat dengan kondisi tutupan 0 hingga 29,9 persen habitat mencapai angka 15 persen di Indonesia.

“Kami lakukan perhitungan ada 166 stasiun monitoring yang kami lakukan di seluruh Indonesia, rata-rata 41,79 persen tutupannya. Artinya kondisi ini masuk kategori kurang sehat,” kata peneliti LIPI Dr Udhie E Hernawan di gedung LIPI, Jakarta, Rabu (7/6/2017).

(Baca juga: Lestarikan Dugong untuk Lamun dan Manusia)

Menurut Udhie, aktivitas manusia memiliki faktor paling besar bagi kesehatan lamun, terutama pembangunan di wilayah pesisir seperti reklamasi. Selain itu, limbah organik dan kimia dapat mengganggu pertumbuhan lamun dengan menimbulkan eutrofikasi.

Pada tahap ini, pertumbuhan lamun kalah cepat dengan alga atau rumput laut. Kondisi ini terjadi di Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara dengan tutupan lamun kurang dari 60 persen.

Selain itu, sedimentasi juga dapat menutup habitat lamun dari cahaya sehingga fotosintesis tidak berjalan dengan baik. Akhirnya, lamun pun mati. “Perubahan iklim global ada dua hal, kenaikan suhu laut dan keasaman laut. Kenaikan suhu laut akan merusak pigmen fotosintesis, pertumbuhan turun sampai pada batas toleransi,” ucap Udhie.

Kerusakan lamun ini akan menghilangkan beberapa fungsi yang bermanfaat bagi biotal laut lainnya. Sebagai tumbuhan autrotrofik, lamun mengikat karbondioksida (CO2) sebesar 394-449 gram karbon per meter persegi per tahun. Lamun juga berfungsi sebagai habitat hewan laut. Bahkan, penyu dan dugong menjadikan lamun sebagai bahan makanan utamanya.

Fungsi lainnya, lamun dapat menjaga kualitas air. Struktur lamun bisa menjadi penjebak bagi sedimen yang membuat air menjadi lebih jernih. Lamun juga dapat menahan gelombang air dan membatu menahan erosi pantai.

“Ada penelitian di Makasar yang memandingkan antara bakteri patogen. Ceritanya, ada tim penelitan yang sampai di sana jatuh sakit disentri. Kemudian mereka penasaran dan melakukan sampling. Setelah dianalisa, lokasi yang ada padang lamunnya memiliki jumlah koloni bateri patogen yang jauh lebih rendah,” ujar Udhie.

Untuk mengembalikan kondisi lamun, Udhi mengusulkan untuk dilakukannya transplantasi lamun di areal yang pernah ditumbuhi lamun atau areal baru. Transplantasi lamun sendiri juga dapat dilakukan dengan memanfaatkan ekowisata. Masyarakat yang berkunjung dapat diajak untuk melakukan transplantasi lamun.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau