KOMPAS.com - Hingga awal abad ke-20, salah satu senjata yang digunakan oleh pria Papua Niugini adalah belati yang terbuat dari tulang.
Tulang yang dijadikan bahan dasar pembuatan belati itu adalah tulang makhluk hidup asli. Ada yang terbuat dari tulang burung berukuran besar, ada pula yang terbuat dari tulang paha manusia.
Tradisi penggunaan belati berbahan tulang di masayarakat Papua Niugini telah membuat para antropolog sangat penasaran.
Lewat penelitian panjang dan mendalam, akhirnya mereka menemukan alasan di balik penggunaan tulang sebagai bahan dasar pembuatan belati.
Baca juga : Orang Papua dan Aborigin Bersaudara, Terpisah 37.000 Tahun Lalu
Jika Anda berpikir tulang makhluk hidup dapat memberi kekuatan lebih, silakan buang jauh-jauh pikiran itu.
Peneliti yang menerbitkan laporannya di jurnal Royal Society Open Science, Kamis (25/4/2018), justru mengatakan mereka tidak terlalu mempedulikan fungsi dari belati.
Namun, mereka lebih mementingkan gengsi atau aspek prestise memiliki belati tulang. Para ilmuwan pun terkejut dengan hasil yang mereka temukan di lapangan, mengingat nyawa taruhannya.
Salah satu hal yang menguatkan temuan peneliti adalah ukiran sederhana dan unik yang dapat dilihat pada bagian kepala belati. Tim peneliti menyebut, ukiran tersebut adalah penunjuk status sosial dan meningkatkan gengsi.
Umumnya, belati orang Papua Niugini terbuat dari tulang kaki burung besar seperti burung kasuari, burung moas asal Selandia Baru yang sudah punah, atau burung emu asal Australia. Namun, antropolog juga telah menemukan belati terbuat dari tulang paha manusia yang diambil dari korban perang.
Peneliti berkata, dalam beberapa kasus seorang anak laki-laki mendapat warisan tulang paha mendiang ayahnya yang belum membusuk untuk dijadikan belati.
Belati yang terbuat dari tulang manusia ditambah motif ukiran yang rumit akan memberi gengsi sosial luar biasa bagi pemiliknya.
Baca juga : 6 Senjata Canggih yang Dipakai AS, Inggris dan Prancis di Suriah
Belati mana yang lebih kuat, dari tulang manusia atau tulang burung?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tim antropolog yang dipimpin oleh Nathaniel Dominy dari Dartmouth College melakukan pengujian belati tulang kasuari yang didapat dari penjual barang seni dan membandingkannya dengan 11 belati tulang tiruan yang disimpan Hood Museum of Art, Dartmouth.
"Kami perlahan-lahan membengkokkan belati tulang kasuari sampai patah, dan kami mengukur bagaimana tulang bertahan agar tidak patah. Kami menggunakan informasi itu dan digabungkan dengan model komputer untuk memperkirakan bagaimana belati tulang dari Museum Hood merespon tekanan," kata Dominy kepada Gizmodo.